Minggu, 25 November 2007

Budaya Melayu atau Budaya Riau

Sangat menarik rasanya menyimak tulisan Profesor Drs H Kailani Hasan MPd, berjudul “Bahasa Melayu: Bersatulah” yang dimuat di Harian Riau Pos, 10 Mei 2003. Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau (Unri), ini mengajak semua masyarakat berbahasa Melayu di Asia dan kawasan lain di dunia untuk bersatu.

Bahasa Melayu sebagai fenomena sosial, menurut Pak Profesor, tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Melayu dan kebudayaannya. Ruang lingkup pemakainya pun cukup luas. Bukan hanya di daerah Riau, tapi juga di beberapa negara tetangga. Di pelbagai daerah di tanah air sendiri, kata Profesor Kailani, masyarakatnya menggunakan Bahasa Melayu. Seperti dialek Jakarta, Bahasa Melayu Menado, Bahasa Melayu Palembang, Bahasa Melayu Medan.

Namun, agaknya Pak Profesor lupa mencantumkan – atau memang tidak menganggap – Bahasa Minang juga masih satu akar dengan Bahasa Melayu. Dalam konteks Riau, Bahasa Minang ini tak bisa diabaikan begitu saja. Maklum, dalam bahasa pergaulan sehari-hari di pelbagai tempat di Riau, masyarakat umumnya menggunakan Bahasa Minang. Bahkan, murid kelas satu sekolah dasar di Pekanbaru masih ada yang berhitung dengan angka: “ciek, duo, tigo, ampek…”

Secara de jure, Riau memang termasuk dalam kawasan Tanah

Melayu. Namun, secara de facto, banyak masyarakatnya yang masih sering menggunakan bahasa dan adat istiadat Minang. Malahan, bahasa dan adat istiadat Melayu Talukkuantan dan Kampar, kelihatan masih satu akar dengan Minang.

Daerah yang masih kental Melayu-nya saat ini, hanya di kawasan Bengkalis – minus Dumai dan Duri, serta Siak. Sedangkan Kepulauan Riau yang masih bertahan dengan ke-Melayu-annya – kendati telah banyak dihuni kaum pendatang – sebentar lagi akan berpisah dengan Riau Daratan.

Nah, agar Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa daerah mempunyai fungsi sebagai lambang identitas daerah atau kelompok masyarakat Melayu Riau – sebagaimana yang diinginkan Profesor Kailani Hasan – nampaknya semua pihak harus bekerja keras. Apalagi guna memujudkan Visi Riau 2020, yang antara lain akan menjadikan Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu.

Untuk mencapai target itu pada Tahun 2020, memang terasa agak berat. Namun, dengan upaya yang sangat keras sekali, hal itu masih dan bisa dilakukan. Buktinya, Singapura yang penduduknya mayoritas Orang Cina, kini telah bisa menjadikan Bahasa Inggeris sebagai bahasa sehari-hari. Jadi, kalau generasi saat ini masih susah diubah lidahnya menjadi lebih Melayu, setidaknya generasi tahun 2020 mendatang sudah akan fasih berbahasa dan berbudaya Melayu.

Sebagai langkah awal, salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan mendidik para guru sekolah – terutama di taman kanak-kanak dan sekolah dasar – untuk mempergunakan bahasa Melayu yang baik dan benar. Dengan begitu, murid-murid pun sedikit banyak akan meniru sang guru. Jadi, tidak akan ada lagi terdengar murid yang mengerjakan matematika dengan angka ciek, duo, tigo, ampek.

Setelah Bahasa Melayu bisa menjadi percakapan sehari-hari di sekolah, maka langkah untuk me-Melayu-kan Riau pun menjadi lebih ringan sedikit. Artinya, meskipun Bahasa Melayu bukan sebagai bahasa ibu bagi murid-murid, tapi bahasa tersebut tidak lagi terasa asing bagi mereka yang akan menjadi generasi berikutnya pada tahun 2020.

Maka, setelah menjadi bahasa percakapan di sekolah, diharapkan para murid akan membawanya ke rumah dan ke pergaulan sehari-harinya di luar rumah. Dari sinilah diharapkan Bahasa Melayu akan berkembang lagi di pasar, perkantoran, dan tempat lainnya.

Yang menjadi kendala justru adalah menyatukan budaya dan kebiasaan masing-masing masyarakat. Rasanya tak mungkin bisa dengan cepat merobah adat kebiasaan orang Minang, misalnya dalam pesta perkawinan. Maklum, adat Minang mengenal adanya ninik mamak, sedangkan adat resam Melayu lebih terpaku kepada agama Islam.

Namun, agaknya hal ini tidak terlalu menjadi persoalan. Masyarakat Kampar dan Taluk, misalnya, meskipun adat istiadatnya terasa lebih dekat ke Minang, toh mereka tetap menyatakan diri sebagai orang Melayu. Atau bisa dicontoh masyarakat Negeri Sembilan, Malaysia. Kendati adat-istiadat mereka mirip dengan di Minang – bahkan sebagian rumah dan gedungnya masih bagonjong – mereka tetap mengaku sebagai orang Melayu.

Langkah untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari, seperti telah disebutkan tadi, dari segi teoritis memang dapat dilaksanakan. Namun, ada satu hal yang bisa mengundang rasa pesimistis keinginan tersebut akan terlaksana. Yakni masalah globalisasi dunia. Bayangkan saja, dengan kemajuan teknologi yang demikian pesat, bumi ini seperti jadi selebar daun keladi saja. Apa yang terjadi di pelosok dunia, saat itu juga bisa diketahui di tempat lain yang demikian jauh jaraknya.

Dengan keadaan seperti itu, apakah pada 2020 nanti masih ada orang yang berbahasa daerah? Agak susah untuk menjawabnya. Saat ini saja, karena terpengaruh sinetron atau acara lain di televisi dan radio, para remaja di Pekanbaru berbicara sudah seperti orang Jakarta. Apalagi jika nanti media elektronik dari luarnegeri dengan derasnya masuk ke Indonesia. Boleh jadi kata-kata sorry, thank you, atau fuck you menjadi bahasa sehari-hari.

Belum lagi jika perdagangan bebas semacam AFTA dan perdagangan bebas dunia akhirnya akan benar-benar terwujudkan secara nyata. Bisa saja montir mobil datang dari Jepang, sopir taksi orang Cina Singapura, dan buruh bangunan dari Bangladesh. Bagaimana pula cara mengajak mereka menggunakan Bahasa Melayu?

Jika suatu saat akan benar terjadi seperti itu, rasanya jadi agak sulit untuk meramalkan bagaimana nantinya bahasa dan adat istiadat yang digunakan orang di Riau. Sebab, Riau merupakan kawasan yang paling terbuka dengan kedatangan orang luar. Apakah masyarakat Riau tahun 2020 akan menggunakan Bahasa Melayu, Inggeris, atau mungkin juga Bahasa Cina. Sebab, jika melihat statistik agama terbesar ke dua di Riau adalah agama Budha, maka Orang Cina – yang umumnya menganut agama Budha – merupakan penduduk kedua terbanyak di bumi Lancang Kuning ini. Dan mereka jugalah yang mendominasi perekonomian, tak hanya di Riau, tapi hampir di seluruh penjuru tanah air, serta di kawasan Asean. Bisa-bisa kata kamsia atau sie-sie yang akan sering terdengar.

Nah, apakah tidak lebih bagus memikirkan sebuah wacana bagaimana membentuk suatu Budaya Riau yang dapat mengakomodasikan budaya-budaya lain yang ada di sini. Daripada nantinya Visi 2020 hanya sebagai cita-cita semata.

Penulis mantan wartawan TEMPO

Kamis, 22 November 2007

Lagu Malaysia

  Negara tetangga, Malaysia, kembali kena 'hujat'. Kali ini soal tarian dan lagu Indang Sungai Garinggiang. Tarian dan lagu asal Sumatera Barat itu diam-diam dibawakan kontingen Malaysia dalam acara Festival Asia 2007 di Osaka, Jepang, pertengahan Oktober lalu.
  Hal ini tentu saja membuat geram sebagian warga kita. Bahkan, Konsulat Jenderal RI di Osaka, sampai melayangkan protes kepada Direktur Malaysian Tourism Office di sana. Selain itu, boleh jadi karena merasa hal ini sudah merupakan masalah besar, pihaknya juga telah melakukan koordinasi dengan pejabat di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Deplu RI di Jakarta. Juga Kuasa Usaha ad interim KBRI di Kuala Lumpur.
 Sebelumnya kita juga memprotes Malaysia soal lagu Rasa Sayange yang sejak Oktober 2007 digunakan Departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan obyek wisata negaranya. Bangsa kita kian terperangah lagi ketika dalam pemberangkatan astronoutnya ke ruang angkasa, pekan lalu, Malaysia memberikan tema keberangkatan itu dengan Batik in Space. Padahal, selama ini orang tahu batik berasal dari Jawa.
Soal protes kita masalah tarian dan lagu Indang Sungai Garinggiang, pemerintah Malaysia memang belum memberikan respon. Namun, untuk lagu Rasa Sayange yang kita klaim sebagai lagu daerah dari Maluku, Menteri Pariwisata Malaysia, Adnan Tengku Mansor, dengan enteng mengatakan itu merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago).
Memang, tak dapat dipungkiri, kedekatan jarak dan budaya antara Malaysia dengan Indonesia boleh dikatakan bak setipis kulit bawang. Sebagai bangsa serumpun, banyak benar kemiripan adat-istiadat, budaya, maupun pola tingkah laku di antara kedua bangsa ini. Bahkan, kalau mau jujur, bahasa Indonesia adalah berasal dari Bahasa Melayu. Dan untuk membedakan dengan etnis lainnya, seperti Cina atau India, orang Indonesia asli sering juga disebut dengan orang Melayu.
Hubungan kekerabatan antara Malaysia dan Indonesia semakin bertambah akrab lagi, karena tak sedikit pula masing-masing subsukubangsa di kedua negara ini saling merantau. Misalnya, orang Malaysia merantau ke Pesisir Pantai Timur Sumatera. Sedangkan orang Bawean, Jawa, Minang, dan sebagainya merantau ke negeri seberang itu.
Orang-orang perantauan ini, kendati telah merantau sejak zaman dahulu kala, kelihatan masih belum bisa melupakan kampung halamannya. Jadi, wajar saja jika pelbagai aktivitas adat-istiadat dan budaya di daerah asalnya masih mereka anggap sebagai miliknya juga.
Dalam acara Misi Jualan Domestik, di Melaka, akhir Juli 2007, tim kesenian dari Negeri Sembilan, Malaysia, misalnya, membawakan lagu Anak Urang dan beberapa lagu asal Sumatera Barat lainnya.
Tak dapat dipungkiri, Negeri Sembilan boleh dikatakan adalah duplikat dari Sumatera Barat. Bentuk rumahnya bagonjong, memakai sistem martiarchat, dan adat-istiadatnya memiliki kemiripan. Yang membedakan hanya karena mereka memakai bahasa Melayu, yang nyaris tak memiliki sepatah kata pun dari Bahasa Minang.
Dari contoh ini, wajar saja jika saudara-saudara kita yang berada di Malaysia itu menganggap produk-produk kebudayaan dari kepulauan Nusantara ini juga adalah milik mereka. Begitu pula sebaliknya. Seperti lagu Selamat Hari Lebaran yang kini jadi jingle iklan rokok Gudang Garam di televisi. Sejak dulu lagu tersebut sudah sering diputar di media elektronik Malaysia yang terpantau dari pesisir Sumatera Timur. Begitu pula dengan lagu-lagu gubahan P Ramlee, dan lagu tanpa nama lainnya. Tapi Malaysia tampak tak memprotes dan mengklaim lagu itu sebagai miliknya.
Pada zaman konfrontasi dengan Malaysia tempo hari, lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku, juga diplesetkan dengan lagu Terang Bulan Terang di Kali, yang plesetannya berisi caci maki terhadap Malaysia. Nada kedua lagu ini memang mirip benar.
Sebagai bangsa serumpun, sebenarnya kita pun harus bangga masih banyak adat-istiadat, budaya, dan kesenian kita yang dipakai di Malaysia. Ini menunjukkan betapa erat sebenarnya hubungan emosional kita dengan negara tetangga tersebut. Soal lagu dan tarian Indang Sungai Garinggiang yang dibawakan orang Malaysia dalam festival di Osaka, siapa tahu mereka mewakili negara bagian Negeri Sembilan, yang merupakan kembaran dari Sumatera Barat. Begitu pula dengan lagu Rasa Sayange atau batik yang bahkan telah dipatenkan orang Malaysia sebagai milik mereka.
Justru dengan tetap memupuk semangat serumpun yang tinggi, kita juga harus berpacu cepat mengejar ketertinggalan dari saudara-saudara kita di Malaysia, yang telah menjadikan pelbagai peninggalan adat/budaya ini sebagai alat untuk maju lebih jauh ke depan.

Editorial Tribun Pekanbaru, 27 Oktober 2007

Kamis, 01 November 2007

Perlu Belajar ke Kutai



Arifin kini telah tiada. Murid kelas tiga SMP itu tewas keracunan saat membersihkan tangki Crude Palm Oil (CPO) di tongkang Kapuas Jaya 01. Teman sebayanya, Herman alias Boy, yang sama-sama berusia 15 tahun, juga mengalami nasib yang sama.
Suasana sedih sangat terasa di rumah Arifin di Desa Sendolas, Kelurahan Pulau Gelang, Kecamatan Cenaku, Kabupaten Indragiri Hilir. Sebab, selain Arifin, abangnya Ilham (17) juga ikut tewas dalam kejadian pada Selasa malam lalu. Ibu mereka, R Saudah, tak henti-hentinya menangis di samping jenazah anak ke lima dan ke enam dari 13 bersaudara itu. Ia tak menyangka, keduanya menyusul kepergian ayahnya yang seminggu lagi genap satu tahun meninggalkan mereka.
Arifin, yang merupakan anak laki-laki tertua setelah Imam, merasa terpanggil membantu abangnya. Sejak ayah mereka meninggal dunia, Ilham berhenti sekolah lalu menggeluti pekerjaan membersihkan tangki CPO untuk kehidupan mereka sekeluarga.
Ironisnya, dari enam yang tewas dalam kejadian nahas itu, seluruhnya masih punya hubungan kekeluargaan yang dekat. Inilah yang membuat Saudah menjadi kian merasa nestapa.
Tapi, yang perlu menjadi perhatian pemerintah agaknya bukanlah masalah kesedihan ini. Dari 11 orang yang menjadi korban dalam kejadian tersebut -- enam di antaranya meninggal dunia -- ternyata delapan orang tergolong masih di bawah umur. Ini jika mengacu kepada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Anak-anak memang boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari.
Selain itu, menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 (BNNo. 6617hal. 20B) tentang Penanggulangan Pekerja Anak (PPA), disebutkan PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya.
Menurut Abdul Halim, Koordinator International Labour Organization (ILO) Bidang Penanganan Pekerja Anak, jumlah pekerja anak di Indonesia masih mencapai 2,6 juta jiwa. Tak jauh berbeda dengan angka tahun 2004 sebesar 2,8 juta.
Banyaknya jumlah pekerja anak, menurut Abdul Hakim, sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan penduduk. Kendati, kemiskinan bukan satu-satunya penyebab anak-anak terpaksa bekerja. Maraknya sektor perekonomian informal menjadi sebab lain yang membuat anak terdorong untuk bekerja.
Keluarga miskin terpaksa mengerahkan sumber daya keluarga untuk secara kolektif memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi demikian mendorong anak-anak yang belum mencapai usia untuk bekerja terpaksa harus bekerja. Hasil penelitian menunjukkan, anak-anak yang bekerja ternyata bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan justru untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Untuk menanggulangi masalah pekerja anak, agaknya kita bisa belajar ke Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. Pemerintah kabupaten ini telah menggelar program Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) sejak tahun 2002. Intinya melarang keras anak-anak usia sekolah atau di bawah umur dipekerjakan atau bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Menurut Bupati Kukar, Syaukani, tugas anak adalah sekolah, jangan disuruh bekerja mencari nafkah. Orangtua harus melindungi hak-hak anak, memberikan indahnya masa kecil yang pantas mereka dapatkan, dan menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi mereka.
Untuk mendukung program ZBPA, secara komprehensif Pemkab Kukar mengembangkan sektor pendidikan, pembangunan ekonomi dan pelayanan sosial. Itu dituangkan dalam grand strategy program Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai Kartanegara (Gerbang Dayaku). Untuk menarik minat anak-anak putus sekolah yang sudah bekerja agar mau kembali ke bangku sekolah, dilakukan program konseling, dan bahkan rehabilitasi sosial.
Jika program ini dapat berjalan normal, korban-korban seperti Arifin cs diperkirakan tak akan terjadi lagi. Jadi, apa salahnya kita mencontoh dari Kutai, kalau manfaatnya lebih besar ketimbang mudharatnya.
Editortial Tribun Pekanbaru, 1 November 2007

Jumat, 26 Oktober 2007

Legal atau Illegal

 
Aparat kepolisian nampaknya masih harus lebih bekerja keras lagi mengungkap kasus pembalakan liar (illegal logging) yang demikian marak terjadi di Riau. Kendati telah berhasil menjadikan ratusan orang sebagai tersangka -- termasuk beberapa orang kuat di Dinas Kehutanan serta bos-bos perusahaan raksasa di kawasan ini -- tapi polisi belum bisa berpuas diri.
Selasa pekan lalu, misalnya, Kejaksaan Tinggi mengembalikan beberapa berkas kasus tersangka illegal logging yang sebelumnya telah diserahkan polisi ke kejaksaan. Alasan pengembalian, menurut jaksa, karena masih ada beberapa item yang harus dilengkapi polisi.
Sebagai petugas penyidik, polisi memang harus cermat, akurat, dan tepat, dalam membuat berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sekiranya ada BAP yang masih bolong-bolong, kemungkinan besar bisa membuat seorang terdakwa -- yang sesungguhnya melakukan kejahatan -- akan dibebaskan hakim di pengadilan.
Kejaksaaan sebagai aparat yang ditunjuk mewakili negara dalam berperkara di pengadilan, tentu tak mau mengambil resiko buruk seperti itu. Hanya gara-gara polisi yang tak cermat membuat BAP, terdakwa sampai bisa lolos dari jerat hukum. Apalagi, jika sampai ada terdakwa yang dibebaskan, maka aparat kejaksaan akan kena hukuman eksaminasi dari atasannya.
Nah, sebagai pintu masuk sebuah perkara pidana, akhirnya dituntut kejelian yang lebih besar dari aparat kepolisian dalam menangani setiap perkara. Untuk kasus-kasus tertentu yang menyangkut instansi lain, misalnya, polisi harus benar-benar tahu tentang masalah di lintas departemen, sehingga tak dianggap konyol oleh instansi tersebut.
Dalam kasus illegal logging ini, misalnya, seperti diungkapkan di pelbagai media massa, ada kesan polisi dianggap tak terlalu mengerti banyak masalah kehutanan. Akibatnya, langkah-langkah hukum yang dilakukan polisi pun dianggap telah melampaui kewenangannya.
Pada kuliah umum di Fakultas Kehutanan UGM, Jumat (14/9), misalnya, Menteri Kehutanan Malam Sabat Kaban dengan tegas mengatakan hingga sekarang tidak ada illegal logging di Riau.
Agaknya, tanpa bermaksud mengecilkan kerja keras yang telah dilakukan aparat kepolisian, Kaban juga menilai persoalan Riau sebenarnya tidak perlu sampai ke presiden jika masing-masing pihak mengikuti aturan yang ada termasuk masalah pemberantasan illegal logging.
Debat pendapat seperti ini tentu saja sah-sah dilakukan. Namun, aksi yang dilakukan polisi itu tampaknya bukan untuk sekadar 'balas dendam' atau cari-cari masalah saja untuk tujuan tertentu. Dari masukan yang diberikan beberapa lembaga swadaya masyarakat bidang kehutanan, ditambah dengan kesusahpayaan aparat polisi mengecek langsung ke lapangan, terbukti hutan di Riau memang sudah cukup parah kerusakannya. Penggundulan terjadi di mana-mana, bahkan sampai ke kawasan hutan lindung dan konservasi sekalipun.
Sebagai aparat yang biasanya mengurusi maling, ilmu kepolisian tentu saja kemudian mengarah ke mana kayu-kayu curian tersebut dijual atau ditampung. Mau tak mau, akhirnya tudingan pun mengarah ke beberapa perusahaan besar yang selama ini membutuhkan kayu dalam jumlah banyak untuk bahan baku pabriknya. Apalagi, hutan tanaman industri (HTI) yang diandalkan untuk bahan baku, hingga kini belum bisa memenuhi kebutuhan.
Dengan distopnya suplai bahan baku oleh polisi, tentu saja membuat pelbagai pihak menjadi merasa panas-dingin. Bahkan, sampai ada ancaman hal ini akan memukul investasi di Riau sehingga menyebabkan akan terjadinya pengangguran besar-besaran.
Tarik-menarik kepentingan yang terjadi pun membuat kasus ini -- seperti yang disayangkan Menteri Kehutanan -- akhirnya memang bermuara juga ke meja presiden. Hal inilah yang kemudian menggelitik Presiden SBY untuk membentuk tim gabungan dipimpin Menko Polhukam Widodo AS untuk melakukan cross cek di lapangan.
Kehadiran tim langsung ke lapangan memang dinantikan hampir semua pihak, termasuk oleh masyarakat sendiri. Sebab, kita semua pun yakin, sebagaimana aparat kepolisian yang sebelumnya telah turun ke lapangan dan menemukan terjadinya pembalakan liar, mereka bukan hanya memandangnya dari kacamata hukum semata. Tapi, juga dari hati nurani yang paling dalam, yang merasa was-was akan terjadi 'neraka' baru jika hutan di Riau benar-benar musnah akibat pelbagai kepentingan. Apakah ini yang kita inginkan?

Imbauan di Bulan Ramadhan

Untuk menghormati orang yang melaksanakan ibadah puasa, seperti telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, Wali Kota Pekanbaru membuat imbauan agar warung kopi dan nasi tidak buka mulai Subuh hingga pukul 5 sore selama Bulan Ramadhan. Dengan imbauan itu, diharapkan masyarakat menjadi berpikir sekian kali untuk tidak berpuasa. Sebab, sama saja laparnya orang yang berpuasa dengan yang tidak, karena tidak ada warung yang buka untuk melepaskan lapar dan dahaga.
Jika dilihat sepintas lalu, imbauan ini nampaknya dipatuhi warung kopi dan nasi yang terdapat di seantero Pekanbaru. Hampir semua tempat penjual makanan dan minuman ini terlihat tutup, kecuali ada beberapa restoran besar yang seperti memiliki izin khusus untuk tetap beroperasi pada siang hari selama Ramadhan.
Namun, sudah menjadi pemandangan sehari-hari, di dalam sebagian warung makan dan kopi yang tutup itu ternyata berjubel orang-orang yang sedang makan maupun ngopi. Bahkan ruangan yang umumnya nyaris tanpa ventilasi itu pun tampak sudah jadi seperti gudang asap karena banyaknya orang merokok.
Setidaknya hal itu dibuktikan ketika Satpol PP bersama anggota Kodim 031 Pekanbaru melakukan razia mendadak di sejumlah warung nasi dan kopi di pusat kota Pekanbaru, Senin (17/9). Mereka menemukan banyak orang yang asyik makan, minum, maupun merokok di sana. Sebagian di antaranya adalah pegawai negeri berpakaian dinas.
Menurut Kepala Kantor Satpol PP, Alizar, pihaknya melakukan razia sesuai dengan imbauan Wali Kota Pekanbaru agar warung makanan dan minuman tidak buka pagi hingga sore selama bulan Ramadhan. Sebagai hukuman terhadap warung yang melanggar imbauan tersebut, petugas Satpol PP pun mengangkut seluruh kursi ke dalam truk.
Imbauan Wali Kota terhadap para pemilik warung ini memang sangat tepat. Setidaknya hal ini menjadi pemacu bagi masyarakat untuk ikut melaksanakan ibadah puasa. Sebab, jika ada yang dari rumah berpuasa tapi kemudian di luar ingin ngopi, merokok, atau makan siang, dia akan kesulitan mencari sarana untuk melampiaskannya. Maklum, warung kopi dan nasi tidak ada yang buka.
Seperti difirmankan Allah dalam Surah Al Baqarah, diwajibkan kepada orang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa pada Bulan Ramadhan. Sebagai kawasan tanah Melayu yang identik dengan Islam, sudah tentu tepat jika Wali Kota mengikuti firman tersebut dan membuat imbauan seperti itu, sehingga nuansa Islami di kota ini tetap terasa kental.
Memang, dalam kelanjutan Surah tersebut juga disebutkan ada pengecualian terhadap beberapa kalangan untuk bisa tidak berpuasa. Seperti orang yang dalam perjalanan (musafir), orang sakit, jompo, dan kabarnya juga pekerja berat.
Berpatok dari ketentuan tersebut, alangkah lengkapnya jika imbauan Wali Kota juga bisa mencakup kepentingan kalangan yang menurut Al Quran diperkenankan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Sebab, sebagai sebuah kota yang berkembang pesat, sudah tentu kalangan seperti ini banyak yang menjadi warga Pekanbaru.
Agaknya menarik menyimak langkah yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bengkalis, yang juga sangat kental dengan nuansa Melayunya itu. Untuk menghormati warganya yang berpuasa, sang bupati justru memperkenankan warung kopi dan nasi buka selebar-lebarnya selama Ramadhan. Pertimbangannya menerapkan peraturan itu masuk akal juga. Siapa pula yang berani makan atau minum seenaknya di warung pada siang hari di bulan Ramadhan itu. Biasanya orang tersebut akan malu kepada anak, isteri, keluarga, atau tetangganya yang mungkin saja kebetulan melintas di sana.
Dengan begitu, Ramadhan ini tak perlu membuat orang menjadi "munafik", pura-pura berpuasa tapi diam-diam masuk ke warung tertutup yang pintunya dibuka dari belakang. Pemilik warung pun jadi tak perlu lagi kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Artinya, warung mereka bisa tetap buka untuk memenuhi para warga dari kalangan yang dibenarkan untuk tidak puasa, maupun bagi saudara kita yang berkeyakinan lain. Apalagi, pemilik warung juga butuh pencarian untuk kehidupannya sekeluarga, terlebih menjelang hari raya yang biasanya membutuhkan biaya tambahan lebih banyak lagi.
Di Malaysia sendiri, negara yang secara penuh menjalankan syariat Islam, rumah makan tetap buka siang hari selama Ramadhan. Hanya saja, jika ketahuan ada orang muslim yang makan, maka akan segera ditangkap Polisi Syariah. Selain menjatuhkan hukuman terhadap konsumen, pemilik warung pun juga akan kena.

Kasus Hanggi di Mata Hukum

 
Hasrat Hanggi untuk bisa makan sahur dan buka puasa bersama keluarga akhirnya terkabul juga. Dengan tubuh agak kuyu, remaja usia 19 tahun ini keluar dari sel tahanan Kepolisian Sektor (Polsek) Kota Pekanbaru, Senin (17/9), atas permohonan pihak keluarga bersama tim kuasa hukumnya.
Dijebloskannya pria bertubuh atletis ini sepekan sebelumnya sebenarnya hanya karena persoalan perkelahian biasa saja. Saat pulang liburan kuliah menyambut Ramadhan dari Bandung, tiba-tiba Hanggi berpapasan dengan Dimas Febrioka, seterunya sewaktu masih sekolah di SMAN 1 Pekanbaru.
Saat itu, menurut versi polisi, Hanggi langsung menyerang Dimas sehingga lawannya yang lebih kecil itu mengalami luka yang lumayan serius. Giginya patah dan wajahnya lebam.
Namanya kenakalan remaja, kasus pukul-memukul seperti ini biasanya habis sampai sebatas itu saja. Paling mungkin, lawan yang kalah kemudian datang lagi membawa kawannya untuk melakukan serangan balas.
Tapi, untuk kasus yang satu ini tampaknya berkembang lebih besar lagi, bahkan sampai menjadi isu nasional. Masalahnya, Hanggi yang menjadi semacam 'algojo' dalam kejadian itu, ternyata adalah alumni IPDN.
Seperti telah ramai diberitakan di media massa nasional maupun lokal, kampus IPDN tempat mencetak para birokrat ini memang sekarang lebih dikenal sebagai pencetak para 'algojo'. Kampus ini seperti tiada henti dari berita soal penganiayaan yang dilakukan para praja -- panggilan untuk mahasiswa. Bukan lagi hanya praja yunior saja yang jadi korban mereka, masyarakat sekitar pun sudah ada yang tewas 'dikerjai' para praja itu.
Nah, begitu Hanggi menerapkan ilmu yang didapatnya dari Jatinangor tersebut di Kota Bertuah ini, masyarakat pun seperti tersontak kaget. Dengan begitu, kejadian-kejadian di Jatinangor yang selama ini masih belum begitu dipercayai banyak orang, akhirnya kian terkuak kebenarannya. Boleh jadi Hanggi menyesal dengan kejadian tersebut. Akibat peristiwa yang tak mengenakkan ini, ia pun terpaksa harus tidur kedinginan di sel tahanan polisi. Sementara teman-temannya satu kampus sudah meneruskan perkuliahannya agar kelak dapat menjadi pejabat tinggi di pemerintahan.
Harapan Hanggi untuk bisa keluar dari ruang pengap tersebut sebenarnya terbilang tipis. Kendati orangtuanya kebetulan termasuk cukup berpengaruh di rantau ini, tapi kasus yang dialaminya sudah menjadi perbincangan banyak orang, bahkan telah menasional. Apalagi, menurut Kombes Syafril Nursal, Kepala Kepolisian Kota Besar (kapoltabes) Pekanbaru, kasus pemukulan yang dilakukan Hanggi sudah memenuhi unsur pidana Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.
Jadi, agak mengejutkan ketika kemudian terbetik kabar Hanggi bisa juga keluar dari sel tahanan polisi. Sebab, seperti dianalogikan Zul Akrial, Dosen Fakultas Hukum UIR, preman pasar tidak diperbolehkan menerima penangguhan penahanan, sementara orang berduit dan memiliki kekuasaan dapat menerima hak hukum itu.
Soal penangguhan penahanan ini sebenarnya ada aturan mainnya. Menurut Kombes Syafril Nursal, hal ini dapat dilakukan asal tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan yang sama. Ternyata, tambahnya, ketiga unsur tersebut telah dipenuhi oleh pihak Hanggi. Selain itu, pertimbangan lainnya karena Hanggi masih muda dan berstatus mahasiswa IPDN.
Keluarnya Hanggi dari sel polisi tentu tak membuat perkara ini kemudian dihentikan begitu saja. Artinya, perkaranya terus diproses sehingga akhirnya nanti praja IPDN itu tetap akan diseret ke meja hijau.
Namun, menurut Zul Akrial, karena Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) belum diserahkan polisi ke kejaksaan, berarti masih terbuka peluang untuk mempetieskannya. Dengan kata lain, polisi masih memiliki hak untuk tidak melanjutkan proses penyidikannya.
Mengingat kasus ini sudah menjadi perbincangan khalayak dan telah menasional, masih beranikah aparat hukum mempermainkannya? Mari sama-sama kita tunggu.

Tanda Lemahnya Manajemen Keamanan


JUMAT pekan lalu kami menampilkan editorial berjudul "Kejahatan Sudah Ibarat Tayangan Film". Belum seminggu editorial tersebut kami buat, kini terjadi lagi aksi kejahatan yang lebih seru, bahkan hampir mengalahkan aksi kejahatan yang diperankan artis-artis Hollywood dalam film laga.
Kendati kali ini kejadiannya tak berdarah-darah, namun terasa sangat mencengangkan. Sekawanan penjahat Kamis malam (27/9) membobol BRI yang terletak di jantung kota Pekanbaru di Jalan Nangka/Tambusai. Para penjahat ini konon berhasil menggasak uang sekitar Rp 700 juta dari bank tersebut, tanpa perlu memuntahkan peluru atau pun mencederai orang lain.
Cara pembobolan yang dilakukan kawanan tersebut memang tampak sudah mendekati sempurna, dan sama sekali tak mengundang kecurigaan. Awalnya, seperti diungkapkan polisi, mereka menyewa rumah yang persis berada di sebelah bank itu.
Sore hari menyewa toko, malamnya mereka langsung beraksi. Begitu semua pegawai bank pulang, kawanan ini pun mulai membobol dinding di lantai dua. Dari sini mereka masuk dan mengobrak-abrik brankas dengan menggunakan las karbit yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Usai menggondol seluruh uang tunai, mereka pun masuk ke mobil Inova yang telah stand by di rumah yang mereka sewa, dan kemudian langsung tancap gas. Tanpa ada dar...der...dor sama sekali, kawanan ini dengan mulus meraup fulus ratusan juta rupiah hanya dalam beberapa jam saja.
Modus pembobolan bank seperti ini boleh dikatakan merupakan hal yang baru pertama kali terjadi, setidaknya untuk kawasan Pekanbaru. Biasanya perampok masih melakukan aksi di luar bank dengan mengincar nasabah yang baru saja pulang mengambil uang.
Dari pemeriksaan terhadap petugas keamanan bank dan pelbagai pihak lainnya, kabarnya polisi telah mengantongi identitas penjahat tersebut. Memang, aparat kepolisian belum mengungkap siapa saja pelakunya. Namun, kecepatan polisi dalam mengungkap kasus ini perlu juga mendapat acungan jempol.
Kendati begitu, pengusutan-pengusutan manual seperti itu sebenarnya sudah harus dibarengi aparat kepolisian dengan penyelidikan yang lebih canggih lagi. Di era teknologi yang demikian canggih saat ini, rasanya kerja manual sudah terasa sangat ketinggalan.
Pihak bank pun sudah seharusnya kian dilengkapi peralatan canggih yang mampu mendeteksi aksi kejahatan sejak dini. Namun, sayangnya, jangankan peralatan canggih, peralatan manual pun tampaknya kurang mencukupi di bank plat merah yang dibobol penjahat itu.
Sebagai petunjuk, seperti sering terlihat dalam aksi perampokan di film-film lama, alarm langsung berbunyi keras begitu pintu kaca bank dipecahkan penjahat. Tapi, dalam kasus ini, kendati dinding bata telah dijebol, dan brankas dirusak dengan panas api yang cukup tajam, tak terdengar sama sekali suara alarm. Jangankan suara alarm yang langsung tersambungkan ke kantor polisi terdekat, suara alarm di bank itu pun -- seperti iklan sebuah merek mobil -- nyaris tak terdengar suaranya.
Dari contoh penjahat bisa dengan gampang dan mulus membobol BRI di Jalan Nangka tersebut, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa managemen keamanan bank tersebut sangatlah lemah. Padahal, pada saat itu saja hampir sebanyak Rp 1 miliar uang kas yang menjadi tanggungjawab negara disimpan di sana. Belum lagi barang berharga lainnya milik para nasabah, yang jika hilang juga tetap akan menjadi tanggungjawab BRI yang notabenenya adalah milik pemerintah.
Belajar dari musibah yang dialami BRI tersebut, sudah selayaknya diatur kembali soal persyaratan untuk keberadaan sebuah bank, kendati itu hanya sebagai cabang atau pun semata sebagai kantor kas saja. Misalnya, bangunan bank harus tersendiri atau tak boleh bersebelahan dinding dengan bangunan lainnya. Selain itu, bank juga harus memiliki alarm yang cukup, dan bila perlu harus tersambungkan ke kantor polisi terdekat.
Masih ingatkan kasus kapal tanker pengangkut minyak goreng yang dirampok saat berlayar dari daerah Sumatera Selatan, beberapa hari lalu. Saat itu kapten kapal sempat menekan alarm yang tersambung ke Markas TNI AL, sehingga kapal tersebut bisa segera dikejar.
Jadi, sangat ironis rasanya jika sebuah institusi perbankan, yang dipercayai nasabah untuk menyimpan uang dan barang berharga lainnya, ternyata tak memiliki managemen keamanan yang baik. Kalau begini, bagaimana nasabah akan percaya dengan dunia perbankan -- khususnya bank pelat merah milik pemerintah.

Al-Qiyadah Al-Islamiyah


Ahmad Moshaddeq kini menjadi orang terkenal. Hampir setiap hari wajahnya terlihat di televisi, dan boleh jadi akan mengalahkan selebritis lainnya. Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam sejak 23 Juli 2006, ia mengaku dirinya mendapat wahyu dari Allah yang kemudian menunjuknya sebagai Rasul menggantikan posisi Muhammad SAW.
Dengan kata lain, Ahmad mengklaim dirinya adalah rasul yang ke-26 setelah Muhammad SAW. Pendiri aliran Al Qiyadah Al-Islamiyah ini sangat yakin dengan hal itu. Sampai-sampai ia pun kemudian mengajarkan syahadat baru: "Asyhadu alla ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Masih al-Mau`ud Rasul Allah."
Tidak seperti ajaran Islam yang dibawakan Nabi Muhammad SAW, aliran baru ini tak mewajibkan shalat, puasa dan haji, tapi menjamin seluruh pengikutnya akan masuk surga. Aliran tersebut juga mengenal penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang kepada al-Masih al-Mau`ud. Sedangkan umat yang tidak beriman kepada "al-Masih al-Mau`ud" dianggap kafir dan bukan muslim.
Ajarannya yang dianggap sangat bertentangan ini tentu saja sempat meresahkan dan membuat gerah Umat Islam. Maka, Majelis Ulama Indonesia (MUI), pun langsung mengeluarkan fatwa bahwa aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah sesat, dan meminta pemerintah melarang penyebaran paham baru tersebut, serta menindak tegas pemimpinnya.
Ketua MUI, KH Ma`ruf Amin, bahkan mengatakan dakwah aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah itu cukup mengkhawatirkan karena telah menyebar ke beberapa provinsi, antara lain di Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, dan tercatat ribuan orang mengikuti dakwahnya.
Namun, sang pendirinya, Ahmad Moshaddeq, tampak seperti tak bergeming. Pada Selasa (23/10) lalu, misalnya, ia justru membai'at sejumlah pengikut baru ajarannya di Jakarta. Usai melakukan pembai'atan, dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta, Ahmad menantang debat orang-orang yang tak sependapat dengan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
Jaksa Agung, Hendarman Supanji, sendiri mengaku belum akan mengambil tindakan terhadap aliran ini. Alasannya, masih menunggu keputusan Badan Koordinasi Penganut Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Setelah Bakorpakem itu memutuskan dilarang atau tidak, lanjut Jaksa Agung, maka kejaksaan akan mengeluarkan keputusan apakah aliran itu dilarang atau tidak. Itu pun setelah mendapat persetujuan dari Presiden.
Tak seperti penganjur ajaran sesat lainnya yang langsung mendapat tindakan dari aparat pemerintah, kali ini aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah itu nampaknya masih tetap bisa menunjukkan keberadaannya. Memang, beberapa pengikutnya -- seperti terjadi di Yogyakarta -- sempat ditangkap dan diperiksa polisi. Namun, tak sampai satu hari mereka langsung dilepaskan lagi. Alasan polisi karena mereka hanya sebagai saksi, dan bukan sebagai pemimpin.
Sayangnya, sang pemimpinnya sendiri hingga kini masih belum juga diperiksa sehingga bisa terus menyebarkan ajarannya. Padahal, seperti telah diungkapkan di atas, banyak ajarannya yang bertentangan dengan Islam.Lain halnya jika aliran tersebut sama sekali tak ada kesamaannya dengan agama lain, sehingga tak sampai meresahkan umat beragama lainnya.
Ahmad, misalnya mengatakan kitab suci yang digunakan adalah al Qur`an, tetapi meninggalkan hadist dan menafsirkannya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan MUI menyatakan aliran ini berada di luar Islam, dan orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari ajaran Islam). Maka, bagi mereka yang sudah terlanjur mengikutinya diminta bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan Quran dan hadist," katanya.
Dalam wawancara dengan televisi, Ahmad, sebenarnya mengakui keberadaan Quran. Dia pun mengaku masih memakainya sebagai pedoman. Namun, jika tetap berpegang teguh kepada Quran, yang jelas-jelas diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, berarti pemimpin aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, harus tetap mengakui dan menjalan kandungan isi dalam Al Quran teresebut.
Apalagi, seperti dalam surah Al-Maaidah: 3, Allah dengan jelas mengatakan: Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu." [Al-Maaidah : 3].
Jika berpatokan kepada Al-Maidah tersebut, berarti agama yang direstui dan telah disempurnakan Allah adalah Islam. Artinya, jika Ahmad tetap mengklaim diri sebagai Rasul -- hanya beberapa waktu saja usai melakukan acara bertapa -- maka sudah selayaknya Ahmad membuat ajaran baru yang tak ada kaitannya dengan Islam. Dengan begitu, kemarahan umat insya Allah akan bisa diredam.

Baliho Retak



DUET yang tak kompak biasanya menjadikan lagu menjadi terasa fals. Seorang penyanyi membawakan tembang dengan nada seenaknya sendiri, sedangkan penyanyi yang lain juga melakukan hal yang sama, sehingga lagunya menjadi terasa sumbang.
Di dalam pemerintahan pun, pemimpin yang saling berseberangan akan membuat jalannya roda pemerintahan menjadi tidak sinkron. Setidaknya, karena tak satu suara dalam membuat keputusan, seringkali masyarakat menjadi kebingungan dibuatnya.
Belakangan ini, misalnya, duet antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Wakil Presiden Yusuf Kalla memang tampak kurang mesra. Kendati terkadang mereka masih tampak bersama, namun ada kesan keduanya asyik dengan urusan masing-masing. Terlebih menyambut pemilihan presiden pada 2009 mendatang, kedua petinggi negara ini tampak saling tebar pesona untuk menggaet hati masyarakat.
Keinginan untuk maju kembali dalam pemilihan memang hak setiap orang. Artinya, sangat manusiawi jika Yusuf Kalla, yang selama ini duduk di kursi wakil presiden, untuk priode berikutnya ingin naik tingkat menjadi presiden. Begitu pula sebaliknya, SBY yang masih menjabat sebagai presiden, ingin mempertahankan jabatannya itu pada periode berikutnya.
Yang tak lazim, agaknya, adalah duet kepemimpinan di Provinsi Riau. Sudah menjadi rahasia umum jika Gubernur Rusli Zainal kini kelihatan tak sebiduk seperjalanan dengan wakilnya, Wan Abubakar. Bahkan, dalam baliho-baliho besar yang dipasang di pelbagai kawasan strategis, yang terlihat hanya gambar gubernur semata. Atau terkadang ada gambar gubernur dengan wali kota, dengan Ketua Paskibraka Riau, gubernur dengan istrinya, maupun dengan Presiden SBY.
Gambar Rusli bersama Wan Abubakar, kalau pun ada, hanya pada saat mereka berpasangan ketika masih menjadi calon gubernur. Keduanya, dalam pemilihan gubernur dan wakil tempo hari memang satu paket. Wan yang waktu itu menjadi ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan jumlah kursi yang cukup signifikan di DPRD Riau, rasanya pantas dijadikan patner dalam pemilihan gubernur yang saat itu masih dipilih oleh DPRD.
Namun, bak habis manis sepah dibuang, tak lama setelah berhasil menumbangkan Saleh Djasit yang berpasangan dengan Chaidir, keharmonisan antara Rusli dengan Wan mulai terganggu. Sebagian orang menduga ketidakharmonisan ini terjadi karena Wan yang orang Muhammadiyah lebih mementingkan azas manfaat ketimbang melakukan hura-hura dalam menjalankan roda pemerintahan. Sementara Rusli yang lebih muda dari segi usia dan pengalaman politik, masih cukup toleran mengakomodir keinginan pelbagai kalangan masyarakat, sehingga sering berkesan seperti masih suka hura-hura dalam kebijakannya.
Konflik di antara mereka kian melebar setelah Wan Abubakar terlihat berambisi untuk maju menjadi gubernur dalam pemilihan 2009 mendatang. Boleh jadi, justru majunya Wan ini yang menyebabkan Rusli merasa tersinggung karena seperti mendapat pesaing tambahan. Padahal, sebenarnya perahu PPP yang selama ini ditambang Wan Abubakar, sudah tak begitu diharapkan Rusli lagi. Maklum Rusli telah terpilih jadi Ketua Golkar Riau, yang partainya jauh lebih banyak memiliki kursi di DPRD Riau.
Justru, begitu terpilih menjadi ketua Golkar, kelihatan Rusli mulai mengambil jarak dari Wan Abubakar. Tak jelas apa hitung-hitungan politiknya. Namun, yang pasti, sejak itu kedudukan Wan sebagai orang nomor dua di Riau, menjadi seperti dikebiri.
Seorang anggota dewan dari partai netral pernah bercerita, pengurus masjid terutama di daerah banyak yang kecewa dengan Wan Abubakar, karena janji-janjinya untuk memberikan bantuan, ternyata tak pernah terwujudkan. Padahal Wan menganggap bantuan yang diberikannya sebagai Wakil Gubernur itu bisa diambil dari pos anggaran bantuan dari Pemprov Riau.
Ternyata, begitu sumbangan akan diwujudkan, Wan tak berdaya mengeluarkan dana bantuan dari Kas Pemerintah Provinsi Riau. Tanpa sepengetahuannya, semua pos bantuan hanya bisa keluar satu pintu dari atas nama gubernur saja.
Nah, boleh jadi hal inilah yang menimbulkan keretakan di antara mereka, sehingga keduanya seperti tak tahu lagi dengan urusan masing-masing. Wakil gubernur, misalnya, tak tahu sama sekali gubernur bertugas ke luar kota selama tiga minggu. Padahal, sebagai wakil gubernur, seharusnya dia yang memegang jabatan ketika gubernur berhalangan. Tapi, selama tiga minggu ini, Pemprov Riau jadi seperti provinsi tak bertuan.

Menyudahi Cuti Bersama



Hari Raya Idul Fitri 1428 H telah berlangsung dengan khidmat. Di hari dan bulan yang mulia ini, semangat saling memaafkan dilakukan untuk membersihkan diri dari pelbagai kesalahan yang dibuat, baik yang disengaja maupun tak disengaja.
Keinginan untuk memohon maupun memberi maaf bukan hanya kepada sejawat yang berada di sekitarnya saja. Tapi, terutama juga kepada kaum kerabat yang masih bermukim nun jauh di pelosok. Fenomena inilah yang kemudian lebih dikenal dengan tradisi mudik Lebaran.
Acara pulang kampung bersempena dengan Hari Raya Idul Fitri ini memang tak hanya bernuansa untuk memohon dan memberi maaf semata saja kepada kaum kerabat di tempat asal. Setelah setahun lamanya sibuk bekerja dalam suasana yang cukup melelahkan, dikejar-kejar target, dan stress menghadapi hiruk-pikuknya perkotaan, seperti ada rasanya semacam penyejuk tatkala mudik Lebaran ke kampung halaman.
Suasana pedesaan yang umumnya masih tampak alamiah, menjadi daya tarik sendiri bagi pemudik untuk dapat pulang setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri ke tanah kelahirannya. Daya tarik bukan hanya dari pemandangan alam yang masih hijau karena belum dijamah yang namanya pembangunan, tapi juga suasana keakraban di tengah-tengah masyarakat yang biasanya masih menjunjung tinggi nilai-nilai kekerabatan.
Sayangnya, keindahan alam dan suasana keakraban di pedesaan, tak bisa terlalu lama dinikmati para pemudik. Pemerintah memang telah mengeluarkan keputusan cuti bersama kepada pegawai negeri sipil (PNS), sehingga bisa menikmati asyiknya berhari raya itu sampai akhir pekan ini. Tapi, jika mengingat akan beban kerja yang akan ditemui kembali, atau mengenang kesemrawutan dan kehingarbingaran suasana di perkotaan, rasanya masih banyak yang ingin memperpanjang masa cutinya di kampung halaman.
Namun, hal seperti ini tentu saja tak bisa dilakukan. Apalagi, pemerintah telah membuat penegasan akan memberikan sanksi kepada para PNS yang melakukan pelanggaran. Sudah beruntung para PNS, yang kendati tak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR), tapi memperoleh jatah cuti yang terbilang lumayan panjang.
Sebab, pegawai swasta atau kalangan lainnya, mendapat cuti hanya beberapa hari saja. Artinya, waktu yang sangat singkat itulah yang dioptimalkan untuk pulang mudik Lebaran. Jika jarak ke kampung halaman cukup dekat, tidak menjadi masalah. Tapi, bagaimana jika jaraknya lebih dari 500 kilometer dari tempat tinggal. Hal ini tentu saja menjadi masalah tersendiri bagi mereka.
Bagi PNS sendiri, panjangnya cuti bersama itu sedikit banyaknya akan merugikan masyarakat yang menginginkan jasa pelayanan dari mereka. Misalnya, bagi warga yang ingin mengurus KTP, atau ingin punya paspor karena tiba-tiba akan berangkat ke luar negeri. Masyarakat yang merupakan pembayar pajak ini terpaksa harus menunggu sampai sekian lama, sehingga urusan mereka akan terkendala. Padahal, jika dirunut ke belakang, uang pajak dari mereka itulah yang digunakan untuk membayar gaji para PNS tersebut.
Nah, untuk menjaga adanya gerutuan dari para anggota masyarakat yang membutuhkan layanan dari abdi negara, sudah selayaknya para PNS memenuhi ketentuan cuti bersama itu dengan masuk kantor sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Artinya, setelah acara maaf-maafan saat Lebaran, janganlah lagi kemudian membuat jalan terjadinya kesalahan yang baru.

Lampu Colok

PUASA Ramadhan sudah memasuki hari ke-27. Saat menjelang puncak bulan puasa seperti ini biasanya disambut masyarakat dengan meriah. Kemeriahan tak hanya dalam pelbagai bentuk ibadah di kawasan mesjid saja, tapi juga diikuti dengan kemeriahan lainnya di luar tempat ibadah.
Yang paling mencolok terlihat adalah pemasangan lampu colok, terutama pada malam ke-27 puasa. Masyarakat tampak dengan meriah memasang lampu-lampu hias tersebut dalam pelbagai bentuk yang menarik. Bahkan tradisi ini sudah cukup lama dikenal di Kabupaten Bengkalis, dengan nama malam tujuh likur.
Di Pekanbaru sendiri perayaan lampu colok dilaksanakan hampir di seluruh kecamatan. Anggota masyarakat, dengan biaya sendiri atau dikumpulkan secara patungan, dengan gembira membuat lampu-lampu ini dari botol kecil minuman penyegar M-150 yang diberi sumbu kain. Lampu yang sudah jadi lalu disusun dalam kerangka kayu yang sebelumnya telah dibentuk mirip masjid atau bentuk lainnya lagi. Sebagai bahan bakar adalah minyak tanah, kendati harganya kini kian melambung dan susah pula mendapatkannya.
Namun, bagi masyarakat yang merayakannya, kesulitan seperti ini tidaklah sampai menjadi kendala berarti. Meskipun minyak tanah sulit didapat, dan kalau pun ada harganya terbilang tinggi, nampaknya tekad untuk tetap memeriahkannya tak juga surut.
Bahkan, sejak beberapa tahun ini lampu colok sudah menjadi agenda tetap pemerintah daerah/kota dan provinsi, sehingga perayaannya tampak kian meriah. Dalam acara pembukaan Festival lampu colok 2005 lalu, misalnya, Gubernur Rusli Zainal yang membuka acara tersebut meminta agar tradisi ini dapat diteruskan dan dipelihara. 'Tradisi ini mengandung nilai-nilai dan ajaran Islam terutama di bulan Ramadan ini. Dengan tradisi ini kita memperingati tentang arti dan makna malam-malam akhir Ramadan yang lebih utama,'' ujar Rusli.
Menurut Gubernur, malam 27 Ramadan yang dalam bahasa lain kerap disebut malam tujuh likur ini juga mengingatkan tentang pentingnya beribadah lebih banyak di akhir Ramadhan, terutama pada 10 malam terakhir. ''Mudah-mudahan kita malah mendapatkan malam lailatul qadar,'' ujarnya.
Kendati hanya berupa rangkaian lampu dari botol minuman penyegar yang kemudian disusun menjadi bentuk masjid, lampu colok ini sebenarnya memiliki makna yang dalam. Rangkaian lampu tersebut membentuk masjid yang cukup indah dipandang pada malam hari, sehingga dapat saja dijadikan sebagai daya penarik bagi wisawatan untuk berkunjung ke sini.
Makna yang lebih penting lagi adalah sebagai gambaran bahwa lampu-lampu yang nyaris tak berarti apa-apa itu, ternyata jika dirangkaikan menjadi pemandangan yang cukup indah. Ini menunjukkan bahwa pertalian antara anggota masyarakat mampu menghasilkan sebuah karya besar.
Pola silaturrahmi dan kerjasama yang erat seperti inilah sebenarnya yang sekarang dibutuhkan, di saat setiap orang kini lebih banyak disibukkan dengan urusan masing-masing. Semangat bertetangga atau berteman kini nyaris ditinggalkan orang, sehingga kerjasama yang solid sudah sangat jarang bisa ditemukan.
Belajar dari lampu colok yang tampak indah dan menawan karena adanya saling keterkaitan antar lampu colok, sudah sewajarnya kita jadikan pelajaran untuk bahu-membahu dalam menggalang sebuah kerjasama.
Sebuah lampu colok dengan bentuk yang indah bisa diwujudkan jika ada warga yang menyumbangkan botol, kayu, sumbu, maupun minyak tanah. Lalu ada yang merangkainya, mendirikan, dan memasang serta menunggui apinya jangan sampai mati. Dari situ tercermin adanya semangat gotong royong yang tinggi, yang kini semakin kita rindukan.
Budayawan Tenas Effendi sendiri pernah mengatakan makna yang dapat diambil dari fenomena ini adalah wisdom atau kebajikan. Di mana dengan terang yang ditimbulkan oleh ribuan lampu colok diharapkan mampu untuk menerangi suasana hati. "Terang kampung, kita harapkan juga terang juga hati ini," kata Tenas.

Apalagi yang Aman Kita Makan?

 

Pertanyaan itulah yang kini selalu mengusik hati masyarakat. Maklum saja, banyak jenis makanan yang kita konsumsi ternyata merusak dan sangat berbahaya bagi kesehatan.
Kemarin, misalnya, kita beritakan tentang 22 warga yang keracunan makan daging impor. Satu di antaranya sampai meninggal dunia, sedangkan selebihnya dilarikan ke puskesmas terdekat.
Seluruh korban yang tinggal di sebuah dusun di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, itu dikabarkan baru saja usai menghadiri acara berbuka puasa di rumah seorang warga. Pulang dari sana mereka langsung mengalami diare berat. Bahkan satu di antaranya muntah-muntah terus selama 10 jam, hingga kemudian meninggal dunia.
Dugaan sementara, mereka keracunan karena mengonsumsi daging impor yang disuguhkan tuan rumah kepada mereka. Soalnya, undangan lain yang tak ikut makan daging dan hanya mengkonsumsi ikan dan ayam, sama sekali tak kena diare atau muntah-muntah.
Hingga kini belum jelas kandungan apa yang terdapat dalam daging tersebut sehingga sampai membuat keracunan puluhan orang dan merenggut nyawa seorang ayah berusia 35 tahun.
Sebelumnya masyarakat memang telah diingatkan agar berhati-hati mengonsumsi daging yang terkena hama penyakit anthrax. Penyakit yang konon menyerang kuku kaki sapi tersebut ternyata berbahaya juga bagi manusia. Tapi, kematian warga yang muntah-muntah sampai 10 jam tersebut belum jelas apa ada kaitannya dengan anthrax.
Belakangan ini banyak di antara makanan yang kita konsumsi ternyata tak aman bagi kesehatan. Beberapa waktu, misalnya, ramai diberitakan soal ikan yang diberi formalin sebagai bahan pengawet. Kendati formalin yang selama ini dipakai zat pengawet mayat ini tak langsung berdampak negatif bagi kesehatan manusia, namun dalam jangka panjang dikabarkan akan banyak pengaruhnya terhadap kesehatan manusia.
Takut mengonsumsi ikan, masyarakat lalu coba beralih kepada ayam. Apalagi pada zaman ini ada ayam yang dalam usia 30-an hari sudah bisa dikonsumsi. Dengan tubuh padat berisi, ayam muda seperti ini sangat empuk digoreng, dibakar, maupun dijadikan ayam gulai.
Namun, kesenangan masyarakat dalam menikmati ayam montok, muda, dan segar ini tak berlangsung lama. Sejak wabah flu burung semakin banyak merenggut jiwa manusia, masyarakat jadi sempat berpikir dua kali untuk menentukan pilihan: makan ayam atau tidak.Soalnya. ayam pun kini diyakini mampu menularkan virus H5N1 itu kepada manusia.
Boleh jadi karena takut memakan daging, ikan, maupun ayam, atau ada alasan lainnya, kini mulai ngetrend warung-warung vegetarian yang konon mengharamkan daging, ayam, dan ikan. Warung seperti ini hanya menyediakan sayur-mayur yang diramu sedemikian rupa sehingga ada yang rasanya sampai menyerupai rasa rasa ayam, rasa daging, dan aneka rasa lainnya.
Namun, meskipun telah memakai bahan bakanan yang aman dikonsumsi, sudah sejak lama diyakini banyak sayuran yang proses penanamannya menggunakan zat pestisida yang juga tidak aman bagi tubuh. Jika terus-menerus mengonsumsi zat beracun ini, diperkirakan pemakannya akan berisiko besar terkena penyakit kanker.
Memang, saat ini sudah banyak ladang sayur-mayur yang menggunakan zat organik sehingga produknya pun jadi lebih aman dikonsumsi. Namun, untuk memproduksi sayur-mayur secara massal dan cepat, pemakaian pestisida dan pupuk kimia pun jadi tak bisa dihindarkan.
Nah, jika hampir seluruh jenis makanan tersebut sudah semakin tak aman untuk dikonsumsi manusia, maka kembali ke pertanyaan awal tadi: apalagi yang aman kita makan.
Nampaknya masalah ini sudah harus menjadi perhatian serius dari semua kalangan. Tak hanya masyarakat saja sebagai konsumen, tapi juga pihak pemerintah yang boleh dikatakan harus memikul tanggungjawab penuh dalam menanganinya. Sebab, masyarakat yang sehat bisa dijadikan sebagai cermin kekuatan suatu negara. Masyarakat yang sakit akan membuat negara juga menjadi lemah.
Karena itu diharapkan aparat pemerintah semakin gencar mengawasi masalah bahan makanan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Bila ada kemauan dan tekad yang membara dari pemerintah, masalah ini akan dapat teratasi dengan mulus dan diharapkan tak sampai merugikan satu pihak pun.


Bukan Berkah bagi Orang Miskin


PUASA Ramadhan tinggal sekitar seminggu lagi. Perjuangan menahan lapar dan haus serta menjaga emosi sebentar lagi akan berakhir. Pekik kemenangan melawan musuh berupa hawa nafsu itu akan tiba saatnya pada Hari Raya Idul Fitri mendatang, berupa gema takbiran yang akan dikumandangkan umat secara bersahut-sahutan.
Detik-detik menghadapi hari kemenangan sudah semakin terasa. Pasar dan tempat berbelanja lainnya kini sudah mulai dibanjiri pembeli. Anak-anak mulai merengek minta dibelikan baju, celana, dan sepatu serba baru. Kaum ibu pun tampak mulai sibuk membenahi rumah dan menyiapkan aneka penganan untuk hari raya mendatang.
Sementara para pekerja kini sudah sibuk menanti kapan tunjangan hari raya (THR) akan diberikan. Mereka pun mulai menghitung hari, menyesuaikan jadwal libur perusahaan dengan lamanya mudik ke kampung halaman.
Begitulah potret kehidupan masyarakat kita setiap menghadapi saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Dari tahun ke tahun, seperti sebuah siklus, kesibukan seperti ini terus berulang terjadi. Artinya, masyarakat seakan tak pernah merasa bosan menghadapi satu dari bagian siklus kehidupan tersebut.
Padahal, agar bisa turut melaksanakan kegiatan tersebut, banyak benar pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya, bahkan juga pengorbanan spiritual yang harus dilakukan. Namun, masyarakat seperti tak mau perduli, dan tetap berupaya untuk ikut dalam siklus tersebut.
Dalam sebuah survei yang dilakukan Lembaga Analisis Informasi (Essai) mengenai "Puasa dan Kemiskinan" di Palembang belum lama ini, terungkap bahwa sebanyak 60 persen umat Muslim yang tak berpuasa adalah orang miskin, seperti tukang becak, sopir bus kota, sopir angkot, dan buruh bangunan.
Menurut Wardah Hafidz, Ketua Urban Poor Consortium (UPC), orang miskin yang tidak berpuasa di Bulan Ramadhan itu tak bisa disalahkan. Alasannya, mereka tidak kuat berpuasa karena harus bekerja keras mendapatkan penghasilan menghadapi Lebaran. "Mereka terpaksa bekerja lebih giat untuk biaya pulang kampung atau Lebaran," katanya.
Menariknya, seperti diungkapkan Wardah, fenomena ini tidak hanya terjadi di Palembang saja.
"Ini juga terjadi di daerah-daerah lain. Cakupannya nasional," katanya.
Karena tuntutan jam kerja yang bertambah, mereka merasa kondisinya tidak mampu untuk menjalani ibadah puasa. Oleh karena itu, Wardah berharap Pemerintah Daerah bisa membantu meringankan beban mereka. Yakni, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan formal, dengan membuat peraturan soal gaji ekstra dari majikan pada pembantu atau sopir," katanya.
Jika hal ini bisa diwjudkan, maka buruh pun tak perlu lagi menambah jam kerjanya untuk mendapat uang lebih. Sebab, sudah ada jaminan dari pemerintah soal bonus hari raya.
Akan halnya nasib mereka yang bekerja di sektor informal, seperti pedagang kaki lima atau asongan, Wardah mengatakan pemerintah selayaknya selama bulan puasa juga bisa "berpuasa' mengejar-ngejar mereka. "Puasa juga menguatkan kepedulian. Jadi hentikanlah penggusuran. Biarkanlah mereka berdagang dengan tenang," ujarnya.
Dengan penelitian ini, kata Anton Bae dari Essai, bisa disimpulkan bahwa puasa bukan sesuatu yang dianggap suatu berkah buat orang miskin. "Orang miskin memandang puasa seperti suatu beban ekonomi, terutama mengenai kebutuhan menghadapi Lebaran," katanya.
Jika dicermati lebih dalam lagi, puasa sebenarnya bermakna untuk mencegah dari sikap pemborosan dengan belajar langsung bagaimana beratnya derita yang dihadapi orang-orang yang kelaparan.
Namun, makna puasa yang kemudian lebih diartikan pada muaranya saja yakni pada saat hari raya, justru membuat puasa itu menjadi beban bagi semua orang. Tak hanya orang miskin saja yang terbebani, tapi juga akan dialami kalangan menengah maupun atas. Sebab, Hari Raya sering dimaknai dengan memberi upeti kepada pihak lain, terutama yang ada hubungan bisnis dengannya.
Padahal, sebenarnya kewajiban umat Muslim yang berpuasa hanya membayar zakat fitra kepada fakir-miskin paling lambat sebelum selesai pelaksanaan sholat Idul Fitri. Tak ada perintah untuk beli baju baru, masak kue, memberikan bingkisan atau angpao, maupun mudik ke kampung halaman.
Tapi mengapa dari begitu dalamnya makna puasa tersebut, lalu dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya menjebak diri umat sendiri menuju ke arah kesulitan hidup?

Selasa, 23 Oktober 2007

Mengadili Pengguna Kayu Limbah

Kapolda Riau, Brigadir Jenderal Sutjiptadi, nampaknya sudah patah arang dengan beberapa perusahaan besar di bidang perkayuan di wilayah ini. Dalam pertemuan dengan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau, Selasa (2/10), ia dengan gamblang mengungkapkan praktik illegal logging dari dua perusahaan raksasa yang sudah melakukan pembalakan liar itu sejak bertahun-tahun.
"Saya punya datanya," kata Sutjiptadi, seraya mengatakan kedua perusahaan besar itulah yang menjadi dalangnya. Karena itu ia meminta kepada wartawan untuk memberitakan masalah ini dengan sebenar-benarnya.
Sebagai aparat penegak hukum, data yang dimiliki kepolisian tentu saja bisa dipertanggungjawabkan. Setidaknya data yang dimiliki Kapolda Riau sudah memenuhi bukti permulaan yang cukup, sehingga polisi berani mengirimkan berkas perkara beberapa tersangkanya ke kejaksaan. Memang, untuk menguji kebenaran dan akurasi data-data tersebut, sudah pasti harus melalui lembaga peradilan, baik itu peradilan umum maupun mahkamah lain yang berwenang.
Tapi, kita yakin polisi tak sembarangan dalam mengumpulkan data-data tersebut. Selain terjun langsung ke lapangan, polisi juga banyak mendapat masukan dari instansi terkait serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang juga sering langsung memantau ke lapangan.
Dalam pertemuan dengan Pengurus PWI itu, Kapolda pun mengungkapkan bahwa sudah jutaan hektare hutan yang dirambah. Sebagian di antaranya tanpa aturan dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Ia pun menuding aparat pemerintah yang ikut berkolusi dalam pengrusakan hutan secara besar-besaran itu.
Ironisnya, seperti diungkapkan Sutjiptadi, kedua perusahaan besar itu memiliki lahan hutan seluas jutaan hektare yang bisa mereka kuasai selama 94 tahun. Kapolda pun menuding mereka membabati hutan tanpa aturan yang jelas, lalu menggantinya dengan tanaman akasia.
Hal ini tentu saja merusak spesies tumbuhan, hewan, dan merusak kelestarian alam. Menurut kapolda, ini belum lagi menyangkut masalah limbah, dan manipulasi dokumen.
Seperti telah diungkapkan di atas, data-data yang dimiliki polisi tentu saja dapat dipertanggungjawabkan. Itu makanya polisi pun tampak ngotot dengan masalah pembalakan liar tersebut, dan bertekad untuk menyeret semua yang terlibat ke kursi pesakitan.
Tapi, saat kapolda asyik membeberkan masalah ini kepada para pengurus PWI Cabang Riau, pada saat bersamaan Direktur Utama PT RAPP, Rudi Fajar -- salah satu perusahaan yang dituding kapolda -- juga membeberkan fakta sebaliknya di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Ia memang tak membantah perusahaannya ikut menggunakan bahan baku pulp dari kayu alam. Namun, menurut Rudi, kayu alam itu diperoleh dari limbah kayu bahan baku serpih (BBS) dari sekitar 14 perusahaan mitra pemasok. Seluruh pemasok itu, katanya, memiliki surat izin hak pengusahaan hutan (HPH).
Rudi mengungkapkan, perusahaannya mendapatkan pasokan bahan baku dari tiga sumber. Yakni dari konsesi HTI yang dikelola sendiri, dari kerjasama kemitraan dengan perusahaan lain yang memiliki izin HTI, serta dari hutan tanaman rakyat.
Dari data-data yang diungkapkan kedua belah pihak tersebut, tugas pengadilanlah nantinya menentukan siapa pihak yang paling benar. Artinya, dalam kehidupan berdemokrasi ini, suatu kebenaran tak bisa disampaikan lewat ucapan atau retorika semata. Tapi harus dengan bukti- bukti dan fakta yang jelas dan akurat.
Itu pun selayaknya disampaikan lewat proses hukum di pengadilan. Sehingga putusan yang dikeluarkan kelak dapat menjadi jurisprudensi atau semacam pegangan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang melanggar hukum.
Tapi, sayangnya, kendati aparat polisi kelihatan sudah sangat bernafsu untuk membawa kasus ini ke pengadilan, aparat hukum lainnya tampak masih sangat berhati-hati. Padahal, seperti diungkapkan Sutjiptadi, dirinya berada di jalur yang benar dalam melakukan pemberantasan pembalakan liar ini. "Saya ingin negeri ini tidak dihancurkan hanya dengan dalih untuk investasi," katanya.

Bak Aske tak Begune

Tempo dulu, khususnya di kawasan Sumatera Timur, ada beberapa gurauan yang ditujukan kepada saudara serumpun kita di negeri seberang. Seperti ucapan hentak-hentak bumi untuk mengatakan jalan di tempat, rumah sakit korban lelaki untuk menyebutkan klinik bersalin, dan aske (askar) tak begune untuk para pensiunan tentara.
Namun, ucapan bernada gurauan versi masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera ini tentu sangat tak layak diberikan kepada tokoh semacam Syarwan Hamid, kendati beliau juga merupakan pensiunan tentara, tapi dengan pangkat yang cukup tinggi : Letnan Jenderal. Apalagi, sepanjang karirnya putera asli Siak ini menduduki berbagai jabatan strategis. Misalnya, pernah menjadi Kasosspol ABRI, Wakil Ketua MPR RI, bahkan sempat pula menduduki jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri.
Aneka prestasi yang telah dicapai Syarwan dalam skala nasional, seharusnya menjadikannya sebagai tokoh yang cukup disegani, dihargai, dan selalu menjadi tempat untuk meminta pendapat, nasihat, tunjuk ajar dan berbagai macam masukan lainnya. Setidaknya, di tanah Melayu yang menjadi tumpah darahnya ini, Syarwan selalu atau bahkan setiap saat tak pernah sepi dari kerumunan warganya yang lebih muda usia dan pengalaman.
Tapi, dari mimik wajah yang ditunjukkan Syarwan, ia tampak seperti orang kesepian di tengah riuhnya derap kemajuan di Bumi Lancang Kuning. Pemikiran-pemikirannya yang cukup cemerlang sehingga menjadi jalan baginya menduduki posisi-posisi cukup strategis dan penting di tanah air, kini seakan tak dibutuhkan lagi di tanah kelahirannya sendiri. Meminjam istilah tadi, Syarwan kini memang bak aske tak begune di negerinya sendiri.
Jenderal yang agak tempramental ini sebenarnya sangat menyadari soal perlakukan yang kurang menyenangkan ini. Sebagai orang tua yang sebenarnya telah masuk dalam strata sesepuh, selayaknya ia dihargai seperti menghormati orang tua sendiri.
Makanya, seakan tak mampu lagi mengendalikan emosi, dalam acara buka puasa bersama sejumlah pengurus Forum Nasional Perjuangan Otonomi Khusus beberapa waktu lalu di Rumah makan Pondok Baung, Jalan Sudirman, Pekanbaru, Syarwan pun langsung memuntahkan kekesalan-kekesalannya. "Apa salah di Riau dan apa dosa saya, sehingga saya diberlakukan seperti ini," katanya dengan nada tinggi.
Kekesalan Syarwan rupanya terkait dengan saat penabalan gelar adat Melayu Riau kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Balai Adat Melayu Riau, Pekanbaru, Agustus lalu. Sebagai sesepuh dan orang yang sebenarnya sangat dihargai di rantau ini, ternyata ia tak masuk dalam daftar nama tokoh yang menepungtawari Presiden.
Dalam kerangka berpikir obyektif, hal seperti ini sebenarnya tak terlalu menjadi masalah yang berarti. Apalah arti sebuah upacara mengoleskan kapur sirih ke tangan seseorang, lalu diikuti dengan menyiramkan kembang dan beras yang telah diramu sedemikian rupa.
Namun, dalam kerangka berpikir secara adat istiadat yang sejak turun-temurun dilaksanakan nenek moyang, ketidakikutannya memberikan tepung tawar itu bisa dianggap sebagai pelecehan, bahkan sampai ke rana penghinaan yang sangat dalam. Seseorang dapat saja merasakan hal ini seperti menginjak-injak harga dirinya.
Memang, dalam kehidupan modern sekarang ini, adat istiadat lebih condong kepada sekadar kenangan ataupun hiburan semata. Gelar adat yang diberikan tak sampai menyebabkan seseorang menjadi memiliki sebuah kekuasaan atau keistimewaan tertentu.
Tapi, sebagai orang timur yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, masalah seperti ini masih dianggap sebagai hal yang serius.
Kendati begitu, seperti yang tersirat, masalah ini sebenarnya hanya sebagai faktor pemicu keberangan Syarwan saja. Dengan kata lain, masih ada pelbagai perlakuan lainnya yang menyebabkan jenderal bintang tiga ini pun kemudian merasa dianggap seperti aske tak begune.
Berkaca dari kejadian tersebut, selayaknya para pemimpin di Riau lebih menghargai yang lebih tua, baik dari segi usia maupun dalam pengalamannya. Sebab, banyak pemikiran, setidaknya pengalaman atau jam terbang mereka yang dapat dijadikan cermin untuk melaksanakan pembangunan ke depan. Janganlah bak kata pepatah: habis manis sepah dibuang.