Minggu, 25 November 2007

Budaya Melayu atau Budaya Riau

Sangat menarik rasanya menyimak tulisan Profesor Drs H Kailani Hasan MPd, berjudul “Bahasa Melayu: Bersatulah” yang dimuat di Harian Riau Pos, 10 Mei 2003. Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau (Unri), ini mengajak semua masyarakat berbahasa Melayu di Asia dan kawasan lain di dunia untuk bersatu.

Bahasa Melayu sebagai fenomena sosial, menurut Pak Profesor, tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Melayu dan kebudayaannya. Ruang lingkup pemakainya pun cukup luas. Bukan hanya di daerah Riau, tapi juga di beberapa negara tetangga. Di pelbagai daerah di tanah air sendiri, kata Profesor Kailani, masyarakatnya menggunakan Bahasa Melayu. Seperti dialek Jakarta, Bahasa Melayu Menado, Bahasa Melayu Palembang, Bahasa Melayu Medan.

Namun, agaknya Pak Profesor lupa mencantumkan – atau memang tidak menganggap – Bahasa Minang juga masih satu akar dengan Bahasa Melayu. Dalam konteks Riau, Bahasa Minang ini tak bisa diabaikan begitu saja. Maklum, dalam bahasa pergaulan sehari-hari di pelbagai tempat di Riau, masyarakat umumnya menggunakan Bahasa Minang. Bahkan, murid kelas satu sekolah dasar di Pekanbaru masih ada yang berhitung dengan angka: “ciek, duo, tigo, ampek…”

Secara de jure, Riau memang termasuk dalam kawasan Tanah

Melayu. Namun, secara de facto, banyak masyarakatnya yang masih sering menggunakan bahasa dan adat istiadat Minang. Malahan, bahasa dan adat istiadat Melayu Talukkuantan dan Kampar, kelihatan masih satu akar dengan Minang.

Daerah yang masih kental Melayu-nya saat ini, hanya di kawasan Bengkalis – minus Dumai dan Duri, serta Siak. Sedangkan Kepulauan Riau yang masih bertahan dengan ke-Melayu-annya – kendati telah banyak dihuni kaum pendatang – sebentar lagi akan berpisah dengan Riau Daratan.

Nah, agar Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa daerah mempunyai fungsi sebagai lambang identitas daerah atau kelompok masyarakat Melayu Riau – sebagaimana yang diinginkan Profesor Kailani Hasan – nampaknya semua pihak harus bekerja keras. Apalagi guna memujudkan Visi Riau 2020, yang antara lain akan menjadikan Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu.

Untuk mencapai target itu pada Tahun 2020, memang terasa agak berat. Namun, dengan upaya yang sangat keras sekali, hal itu masih dan bisa dilakukan. Buktinya, Singapura yang penduduknya mayoritas Orang Cina, kini telah bisa menjadikan Bahasa Inggeris sebagai bahasa sehari-hari. Jadi, kalau generasi saat ini masih susah diubah lidahnya menjadi lebih Melayu, setidaknya generasi tahun 2020 mendatang sudah akan fasih berbahasa dan berbudaya Melayu.

Sebagai langkah awal, salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan mendidik para guru sekolah – terutama di taman kanak-kanak dan sekolah dasar – untuk mempergunakan bahasa Melayu yang baik dan benar. Dengan begitu, murid-murid pun sedikit banyak akan meniru sang guru. Jadi, tidak akan ada lagi terdengar murid yang mengerjakan matematika dengan angka ciek, duo, tigo, ampek.

Setelah Bahasa Melayu bisa menjadi percakapan sehari-hari di sekolah, maka langkah untuk me-Melayu-kan Riau pun menjadi lebih ringan sedikit. Artinya, meskipun Bahasa Melayu bukan sebagai bahasa ibu bagi murid-murid, tapi bahasa tersebut tidak lagi terasa asing bagi mereka yang akan menjadi generasi berikutnya pada tahun 2020.

Maka, setelah menjadi bahasa percakapan di sekolah, diharapkan para murid akan membawanya ke rumah dan ke pergaulan sehari-harinya di luar rumah. Dari sinilah diharapkan Bahasa Melayu akan berkembang lagi di pasar, perkantoran, dan tempat lainnya.

Yang menjadi kendala justru adalah menyatukan budaya dan kebiasaan masing-masing masyarakat. Rasanya tak mungkin bisa dengan cepat merobah adat kebiasaan orang Minang, misalnya dalam pesta perkawinan. Maklum, adat Minang mengenal adanya ninik mamak, sedangkan adat resam Melayu lebih terpaku kepada agama Islam.

Namun, agaknya hal ini tidak terlalu menjadi persoalan. Masyarakat Kampar dan Taluk, misalnya, meskipun adat istiadatnya terasa lebih dekat ke Minang, toh mereka tetap menyatakan diri sebagai orang Melayu. Atau bisa dicontoh masyarakat Negeri Sembilan, Malaysia. Kendati adat-istiadat mereka mirip dengan di Minang – bahkan sebagian rumah dan gedungnya masih bagonjong – mereka tetap mengaku sebagai orang Melayu.

Langkah untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari, seperti telah disebutkan tadi, dari segi teoritis memang dapat dilaksanakan. Namun, ada satu hal yang bisa mengundang rasa pesimistis keinginan tersebut akan terlaksana. Yakni masalah globalisasi dunia. Bayangkan saja, dengan kemajuan teknologi yang demikian pesat, bumi ini seperti jadi selebar daun keladi saja. Apa yang terjadi di pelosok dunia, saat itu juga bisa diketahui di tempat lain yang demikian jauh jaraknya.

Dengan keadaan seperti itu, apakah pada 2020 nanti masih ada orang yang berbahasa daerah? Agak susah untuk menjawabnya. Saat ini saja, karena terpengaruh sinetron atau acara lain di televisi dan radio, para remaja di Pekanbaru berbicara sudah seperti orang Jakarta. Apalagi jika nanti media elektronik dari luarnegeri dengan derasnya masuk ke Indonesia. Boleh jadi kata-kata sorry, thank you, atau fuck you menjadi bahasa sehari-hari.

Belum lagi jika perdagangan bebas semacam AFTA dan perdagangan bebas dunia akhirnya akan benar-benar terwujudkan secara nyata. Bisa saja montir mobil datang dari Jepang, sopir taksi orang Cina Singapura, dan buruh bangunan dari Bangladesh. Bagaimana pula cara mengajak mereka menggunakan Bahasa Melayu?

Jika suatu saat akan benar terjadi seperti itu, rasanya jadi agak sulit untuk meramalkan bagaimana nantinya bahasa dan adat istiadat yang digunakan orang di Riau. Sebab, Riau merupakan kawasan yang paling terbuka dengan kedatangan orang luar. Apakah masyarakat Riau tahun 2020 akan menggunakan Bahasa Melayu, Inggeris, atau mungkin juga Bahasa Cina. Sebab, jika melihat statistik agama terbesar ke dua di Riau adalah agama Budha, maka Orang Cina – yang umumnya menganut agama Budha – merupakan penduduk kedua terbanyak di bumi Lancang Kuning ini. Dan mereka jugalah yang mendominasi perekonomian, tak hanya di Riau, tapi hampir di seluruh penjuru tanah air, serta di kawasan Asean. Bisa-bisa kata kamsia atau sie-sie yang akan sering terdengar.

Nah, apakah tidak lebih bagus memikirkan sebuah wacana bagaimana membentuk suatu Budaya Riau yang dapat mengakomodasikan budaya-budaya lain yang ada di sini. Daripada nantinya Visi 2020 hanya sebagai cita-cita semata.

Penulis mantan wartawan TEMPO

Kamis, 22 November 2007

Lagu Malaysia

  Negara tetangga, Malaysia, kembali kena 'hujat'. Kali ini soal tarian dan lagu Indang Sungai Garinggiang. Tarian dan lagu asal Sumatera Barat itu diam-diam dibawakan kontingen Malaysia dalam acara Festival Asia 2007 di Osaka, Jepang, pertengahan Oktober lalu.
  Hal ini tentu saja membuat geram sebagian warga kita. Bahkan, Konsulat Jenderal RI di Osaka, sampai melayangkan protes kepada Direktur Malaysian Tourism Office di sana. Selain itu, boleh jadi karena merasa hal ini sudah merupakan masalah besar, pihaknya juga telah melakukan koordinasi dengan pejabat di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Deplu RI di Jakarta. Juga Kuasa Usaha ad interim KBRI di Kuala Lumpur.
 Sebelumnya kita juga memprotes Malaysia soal lagu Rasa Sayange yang sejak Oktober 2007 digunakan Departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan obyek wisata negaranya. Bangsa kita kian terperangah lagi ketika dalam pemberangkatan astronoutnya ke ruang angkasa, pekan lalu, Malaysia memberikan tema keberangkatan itu dengan Batik in Space. Padahal, selama ini orang tahu batik berasal dari Jawa.
Soal protes kita masalah tarian dan lagu Indang Sungai Garinggiang, pemerintah Malaysia memang belum memberikan respon. Namun, untuk lagu Rasa Sayange yang kita klaim sebagai lagu daerah dari Maluku, Menteri Pariwisata Malaysia, Adnan Tengku Mansor, dengan enteng mengatakan itu merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago).
Memang, tak dapat dipungkiri, kedekatan jarak dan budaya antara Malaysia dengan Indonesia boleh dikatakan bak setipis kulit bawang. Sebagai bangsa serumpun, banyak benar kemiripan adat-istiadat, budaya, maupun pola tingkah laku di antara kedua bangsa ini. Bahkan, kalau mau jujur, bahasa Indonesia adalah berasal dari Bahasa Melayu. Dan untuk membedakan dengan etnis lainnya, seperti Cina atau India, orang Indonesia asli sering juga disebut dengan orang Melayu.
Hubungan kekerabatan antara Malaysia dan Indonesia semakin bertambah akrab lagi, karena tak sedikit pula masing-masing subsukubangsa di kedua negara ini saling merantau. Misalnya, orang Malaysia merantau ke Pesisir Pantai Timur Sumatera. Sedangkan orang Bawean, Jawa, Minang, dan sebagainya merantau ke negeri seberang itu.
Orang-orang perantauan ini, kendati telah merantau sejak zaman dahulu kala, kelihatan masih belum bisa melupakan kampung halamannya. Jadi, wajar saja jika pelbagai aktivitas adat-istiadat dan budaya di daerah asalnya masih mereka anggap sebagai miliknya juga.
Dalam acara Misi Jualan Domestik, di Melaka, akhir Juli 2007, tim kesenian dari Negeri Sembilan, Malaysia, misalnya, membawakan lagu Anak Urang dan beberapa lagu asal Sumatera Barat lainnya.
Tak dapat dipungkiri, Negeri Sembilan boleh dikatakan adalah duplikat dari Sumatera Barat. Bentuk rumahnya bagonjong, memakai sistem martiarchat, dan adat-istiadatnya memiliki kemiripan. Yang membedakan hanya karena mereka memakai bahasa Melayu, yang nyaris tak memiliki sepatah kata pun dari Bahasa Minang.
Dari contoh ini, wajar saja jika saudara-saudara kita yang berada di Malaysia itu menganggap produk-produk kebudayaan dari kepulauan Nusantara ini juga adalah milik mereka. Begitu pula sebaliknya. Seperti lagu Selamat Hari Lebaran yang kini jadi jingle iklan rokok Gudang Garam di televisi. Sejak dulu lagu tersebut sudah sering diputar di media elektronik Malaysia yang terpantau dari pesisir Sumatera Timur. Begitu pula dengan lagu-lagu gubahan P Ramlee, dan lagu tanpa nama lainnya. Tapi Malaysia tampak tak memprotes dan mengklaim lagu itu sebagai miliknya.
Pada zaman konfrontasi dengan Malaysia tempo hari, lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku, juga diplesetkan dengan lagu Terang Bulan Terang di Kali, yang plesetannya berisi caci maki terhadap Malaysia. Nada kedua lagu ini memang mirip benar.
Sebagai bangsa serumpun, sebenarnya kita pun harus bangga masih banyak adat-istiadat, budaya, dan kesenian kita yang dipakai di Malaysia. Ini menunjukkan betapa erat sebenarnya hubungan emosional kita dengan negara tetangga tersebut. Soal lagu dan tarian Indang Sungai Garinggiang yang dibawakan orang Malaysia dalam festival di Osaka, siapa tahu mereka mewakili negara bagian Negeri Sembilan, yang merupakan kembaran dari Sumatera Barat. Begitu pula dengan lagu Rasa Sayange atau batik yang bahkan telah dipatenkan orang Malaysia sebagai milik mereka.
Justru dengan tetap memupuk semangat serumpun yang tinggi, kita juga harus berpacu cepat mengejar ketertinggalan dari saudara-saudara kita di Malaysia, yang telah menjadikan pelbagai peninggalan adat/budaya ini sebagai alat untuk maju lebih jauh ke depan.

Editorial Tribun Pekanbaru, 27 Oktober 2007

Kamis, 01 November 2007

Perlu Belajar ke Kutai



Arifin kini telah tiada. Murid kelas tiga SMP itu tewas keracunan saat membersihkan tangki Crude Palm Oil (CPO) di tongkang Kapuas Jaya 01. Teman sebayanya, Herman alias Boy, yang sama-sama berusia 15 tahun, juga mengalami nasib yang sama.
Suasana sedih sangat terasa di rumah Arifin di Desa Sendolas, Kelurahan Pulau Gelang, Kecamatan Cenaku, Kabupaten Indragiri Hilir. Sebab, selain Arifin, abangnya Ilham (17) juga ikut tewas dalam kejadian pada Selasa malam lalu. Ibu mereka, R Saudah, tak henti-hentinya menangis di samping jenazah anak ke lima dan ke enam dari 13 bersaudara itu. Ia tak menyangka, keduanya menyusul kepergian ayahnya yang seminggu lagi genap satu tahun meninggalkan mereka.
Arifin, yang merupakan anak laki-laki tertua setelah Imam, merasa terpanggil membantu abangnya. Sejak ayah mereka meninggal dunia, Ilham berhenti sekolah lalu menggeluti pekerjaan membersihkan tangki CPO untuk kehidupan mereka sekeluarga.
Ironisnya, dari enam yang tewas dalam kejadian nahas itu, seluruhnya masih punya hubungan kekeluargaan yang dekat. Inilah yang membuat Saudah menjadi kian merasa nestapa.
Tapi, yang perlu menjadi perhatian pemerintah agaknya bukanlah masalah kesedihan ini. Dari 11 orang yang menjadi korban dalam kejadian tersebut -- enam di antaranya meninggal dunia -- ternyata delapan orang tergolong masih di bawah umur. Ini jika mengacu kepada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Anak-anak memang boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari.
Selain itu, menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 (BNNo. 6617hal. 20B) tentang Penanggulangan Pekerja Anak (PPA), disebutkan PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya.
Menurut Abdul Halim, Koordinator International Labour Organization (ILO) Bidang Penanganan Pekerja Anak, jumlah pekerja anak di Indonesia masih mencapai 2,6 juta jiwa. Tak jauh berbeda dengan angka tahun 2004 sebesar 2,8 juta.
Banyaknya jumlah pekerja anak, menurut Abdul Hakim, sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan penduduk. Kendati, kemiskinan bukan satu-satunya penyebab anak-anak terpaksa bekerja. Maraknya sektor perekonomian informal menjadi sebab lain yang membuat anak terdorong untuk bekerja.
Keluarga miskin terpaksa mengerahkan sumber daya keluarga untuk secara kolektif memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi demikian mendorong anak-anak yang belum mencapai usia untuk bekerja terpaksa harus bekerja. Hasil penelitian menunjukkan, anak-anak yang bekerja ternyata bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan justru untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Untuk menanggulangi masalah pekerja anak, agaknya kita bisa belajar ke Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. Pemerintah kabupaten ini telah menggelar program Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) sejak tahun 2002. Intinya melarang keras anak-anak usia sekolah atau di bawah umur dipekerjakan atau bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Menurut Bupati Kukar, Syaukani, tugas anak adalah sekolah, jangan disuruh bekerja mencari nafkah. Orangtua harus melindungi hak-hak anak, memberikan indahnya masa kecil yang pantas mereka dapatkan, dan menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi mereka.
Untuk mendukung program ZBPA, secara komprehensif Pemkab Kukar mengembangkan sektor pendidikan, pembangunan ekonomi dan pelayanan sosial. Itu dituangkan dalam grand strategy program Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai Kartanegara (Gerbang Dayaku). Untuk menarik minat anak-anak putus sekolah yang sudah bekerja agar mau kembali ke bangku sekolah, dilakukan program konseling, dan bahkan rehabilitasi sosial.
Jika program ini dapat berjalan normal, korban-korban seperti Arifin cs diperkirakan tak akan terjadi lagi. Jadi, apa salahnya kita mencontoh dari Kutai, kalau manfaatnya lebih besar ketimbang mudharatnya.
Editortial Tribun Pekanbaru, 1 November 2007