Minggu, 25 November 2007

Budaya Melayu atau Budaya Riau

Sangat menarik rasanya menyimak tulisan Profesor Drs H Kailani Hasan MPd, berjudul “Bahasa Melayu: Bersatulah” yang dimuat di Harian Riau Pos, 10 Mei 2003. Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau (Unri), ini mengajak semua masyarakat berbahasa Melayu di Asia dan kawasan lain di dunia untuk bersatu.

Bahasa Melayu sebagai fenomena sosial, menurut Pak Profesor, tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Melayu dan kebudayaannya. Ruang lingkup pemakainya pun cukup luas. Bukan hanya di daerah Riau, tapi juga di beberapa negara tetangga. Di pelbagai daerah di tanah air sendiri, kata Profesor Kailani, masyarakatnya menggunakan Bahasa Melayu. Seperti dialek Jakarta, Bahasa Melayu Menado, Bahasa Melayu Palembang, Bahasa Melayu Medan.

Namun, agaknya Pak Profesor lupa mencantumkan – atau memang tidak menganggap – Bahasa Minang juga masih satu akar dengan Bahasa Melayu. Dalam konteks Riau, Bahasa Minang ini tak bisa diabaikan begitu saja. Maklum, dalam bahasa pergaulan sehari-hari di pelbagai tempat di Riau, masyarakat umumnya menggunakan Bahasa Minang. Bahkan, murid kelas satu sekolah dasar di Pekanbaru masih ada yang berhitung dengan angka: “ciek, duo, tigo, ampek…”

Secara de jure, Riau memang termasuk dalam kawasan Tanah

Melayu. Namun, secara de facto, banyak masyarakatnya yang masih sering menggunakan bahasa dan adat istiadat Minang. Malahan, bahasa dan adat istiadat Melayu Talukkuantan dan Kampar, kelihatan masih satu akar dengan Minang.

Daerah yang masih kental Melayu-nya saat ini, hanya di kawasan Bengkalis – minus Dumai dan Duri, serta Siak. Sedangkan Kepulauan Riau yang masih bertahan dengan ke-Melayu-annya – kendati telah banyak dihuni kaum pendatang – sebentar lagi akan berpisah dengan Riau Daratan.

Nah, agar Bahasa Melayu Riau sebagai bahasa daerah mempunyai fungsi sebagai lambang identitas daerah atau kelompok masyarakat Melayu Riau – sebagaimana yang diinginkan Profesor Kailani Hasan – nampaknya semua pihak harus bekerja keras. Apalagi guna memujudkan Visi Riau 2020, yang antara lain akan menjadikan Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu.

Untuk mencapai target itu pada Tahun 2020, memang terasa agak berat. Namun, dengan upaya yang sangat keras sekali, hal itu masih dan bisa dilakukan. Buktinya, Singapura yang penduduknya mayoritas Orang Cina, kini telah bisa menjadikan Bahasa Inggeris sebagai bahasa sehari-hari. Jadi, kalau generasi saat ini masih susah diubah lidahnya menjadi lebih Melayu, setidaknya generasi tahun 2020 mendatang sudah akan fasih berbahasa dan berbudaya Melayu.

Sebagai langkah awal, salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan mendidik para guru sekolah – terutama di taman kanak-kanak dan sekolah dasar – untuk mempergunakan bahasa Melayu yang baik dan benar. Dengan begitu, murid-murid pun sedikit banyak akan meniru sang guru. Jadi, tidak akan ada lagi terdengar murid yang mengerjakan matematika dengan angka ciek, duo, tigo, ampek.

Setelah Bahasa Melayu bisa menjadi percakapan sehari-hari di sekolah, maka langkah untuk me-Melayu-kan Riau pun menjadi lebih ringan sedikit. Artinya, meskipun Bahasa Melayu bukan sebagai bahasa ibu bagi murid-murid, tapi bahasa tersebut tidak lagi terasa asing bagi mereka yang akan menjadi generasi berikutnya pada tahun 2020.

Maka, setelah menjadi bahasa percakapan di sekolah, diharapkan para murid akan membawanya ke rumah dan ke pergaulan sehari-harinya di luar rumah. Dari sinilah diharapkan Bahasa Melayu akan berkembang lagi di pasar, perkantoran, dan tempat lainnya.

Yang menjadi kendala justru adalah menyatukan budaya dan kebiasaan masing-masing masyarakat. Rasanya tak mungkin bisa dengan cepat merobah adat kebiasaan orang Minang, misalnya dalam pesta perkawinan. Maklum, adat Minang mengenal adanya ninik mamak, sedangkan adat resam Melayu lebih terpaku kepada agama Islam.

Namun, agaknya hal ini tidak terlalu menjadi persoalan. Masyarakat Kampar dan Taluk, misalnya, meskipun adat istiadatnya terasa lebih dekat ke Minang, toh mereka tetap menyatakan diri sebagai orang Melayu. Atau bisa dicontoh masyarakat Negeri Sembilan, Malaysia. Kendati adat-istiadat mereka mirip dengan di Minang – bahkan sebagian rumah dan gedungnya masih bagonjong – mereka tetap mengaku sebagai orang Melayu.

Langkah untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari, seperti telah disebutkan tadi, dari segi teoritis memang dapat dilaksanakan. Namun, ada satu hal yang bisa mengundang rasa pesimistis keinginan tersebut akan terlaksana. Yakni masalah globalisasi dunia. Bayangkan saja, dengan kemajuan teknologi yang demikian pesat, bumi ini seperti jadi selebar daun keladi saja. Apa yang terjadi di pelosok dunia, saat itu juga bisa diketahui di tempat lain yang demikian jauh jaraknya.

Dengan keadaan seperti itu, apakah pada 2020 nanti masih ada orang yang berbahasa daerah? Agak susah untuk menjawabnya. Saat ini saja, karena terpengaruh sinetron atau acara lain di televisi dan radio, para remaja di Pekanbaru berbicara sudah seperti orang Jakarta. Apalagi jika nanti media elektronik dari luarnegeri dengan derasnya masuk ke Indonesia. Boleh jadi kata-kata sorry, thank you, atau fuck you menjadi bahasa sehari-hari.

Belum lagi jika perdagangan bebas semacam AFTA dan perdagangan bebas dunia akhirnya akan benar-benar terwujudkan secara nyata. Bisa saja montir mobil datang dari Jepang, sopir taksi orang Cina Singapura, dan buruh bangunan dari Bangladesh. Bagaimana pula cara mengajak mereka menggunakan Bahasa Melayu?

Jika suatu saat akan benar terjadi seperti itu, rasanya jadi agak sulit untuk meramalkan bagaimana nantinya bahasa dan adat istiadat yang digunakan orang di Riau. Sebab, Riau merupakan kawasan yang paling terbuka dengan kedatangan orang luar. Apakah masyarakat Riau tahun 2020 akan menggunakan Bahasa Melayu, Inggeris, atau mungkin juga Bahasa Cina. Sebab, jika melihat statistik agama terbesar ke dua di Riau adalah agama Budha, maka Orang Cina – yang umumnya menganut agama Budha – merupakan penduduk kedua terbanyak di bumi Lancang Kuning ini. Dan mereka jugalah yang mendominasi perekonomian, tak hanya di Riau, tapi hampir di seluruh penjuru tanah air, serta di kawasan Asean. Bisa-bisa kata kamsia atau sie-sie yang akan sering terdengar.

Nah, apakah tidak lebih bagus memikirkan sebuah wacana bagaimana membentuk suatu Budaya Riau yang dapat mengakomodasikan budaya-budaya lain yang ada di sini. Daripada nantinya Visi 2020 hanya sebagai cita-cita semata.

Penulis mantan wartawan TEMPO

Kamis, 22 November 2007

Lagu Malaysia

  Negara tetangga, Malaysia, kembali kena 'hujat'. Kali ini soal tarian dan lagu Indang Sungai Garinggiang. Tarian dan lagu asal Sumatera Barat itu diam-diam dibawakan kontingen Malaysia dalam acara Festival Asia 2007 di Osaka, Jepang, pertengahan Oktober lalu.
  Hal ini tentu saja membuat geram sebagian warga kita. Bahkan, Konsulat Jenderal RI di Osaka, sampai melayangkan protes kepada Direktur Malaysian Tourism Office di sana. Selain itu, boleh jadi karena merasa hal ini sudah merupakan masalah besar, pihaknya juga telah melakukan koordinasi dengan pejabat di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Deplu RI di Jakarta. Juga Kuasa Usaha ad interim KBRI di Kuala Lumpur.
 Sebelumnya kita juga memprotes Malaysia soal lagu Rasa Sayange yang sejak Oktober 2007 digunakan Departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan obyek wisata negaranya. Bangsa kita kian terperangah lagi ketika dalam pemberangkatan astronoutnya ke ruang angkasa, pekan lalu, Malaysia memberikan tema keberangkatan itu dengan Batik in Space. Padahal, selama ini orang tahu batik berasal dari Jawa.
Soal protes kita masalah tarian dan lagu Indang Sungai Garinggiang, pemerintah Malaysia memang belum memberikan respon. Namun, untuk lagu Rasa Sayange yang kita klaim sebagai lagu daerah dari Maluku, Menteri Pariwisata Malaysia, Adnan Tengku Mansor, dengan enteng mengatakan itu merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago).
Memang, tak dapat dipungkiri, kedekatan jarak dan budaya antara Malaysia dengan Indonesia boleh dikatakan bak setipis kulit bawang. Sebagai bangsa serumpun, banyak benar kemiripan adat-istiadat, budaya, maupun pola tingkah laku di antara kedua bangsa ini. Bahkan, kalau mau jujur, bahasa Indonesia adalah berasal dari Bahasa Melayu. Dan untuk membedakan dengan etnis lainnya, seperti Cina atau India, orang Indonesia asli sering juga disebut dengan orang Melayu.
Hubungan kekerabatan antara Malaysia dan Indonesia semakin bertambah akrab lagi, karena tak sedikit pula masing-masing subsukubangsa di kedua negara ini saling merantau. Misalnya, orang Malaysia merantau ke Pesisir Pantai Timur Sumatera. Sedangkan orang Bawean, Jawa, Minang, dan sebagainya merantau ke negeri seberang itu.
Orang-orang perantauan ini, kendati telah merantau sejak zaman dahulu kala, kelihatan masih belum bisa melupakan kampung halamannya. Jadi, wajar saja jika pelbagai aktivitas adat-istiadat dan budaya di daerah asalnya masih mereka anggap sebagai miliknya juga.
Dalam acara Misi Jualan Domestik, di Melaka, akhir Juli 2007, tim kesenian dari Negeri Sembilan, Malaysia, misalnya, membawakan lagu Anak Urang dan beberapa lagu asal Sumatera Barat lainnya.
Tak dapat dipungkiri, Negeri Sembilan boleh dikatakan adalah duplikat dari Sumatera Barat. Bentuk rumahnya bagonjong, memakai sistem martiarchat, dan adat-istiadatnya memiliki kemiripan. Yang membedakan hanya karena mereka memakai bahasa Melayu, yang nyaris tak memiliki sepatah kata pun dari Bahasa Minang.
Dari contoh ini, wajar saja jika saudara-saudara kita yang berada di Malaysia itu menganggap produk-produk kebudayaan dari kepulauan Nusantara ini juga adalah milik mereka. Begitu pula sebaliknya. Seperti lagu Selamat Hari Lebaran yang kini jadi jingle iklan rokok Gudang Garam di televisi. Sejak dulu lagu tersebut sudah sering diputar di media elektronik Malaysia yang terpantau dari pesisir Sumatera Timur. Begitu pula dengan lagu-lagu gubahan P Ramlee, dan lagu tanpa nama lainnya. Tapi Malaysia tampak tak memprotes dan mengklaim lagu itu sebagai miliknya.
Pada zaman konfrontasi dengan Malaysia tempo hari, lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku, juga diplesetkan dengan lagu Terang Bulan Terang di Kali, yang plesetannya berisi caci maki terhadap Malaysia. Nada kedua lagu ini memang mirip benar.
Sebagai bangsa serumpun, sebenarnya kita pun harus bangga masih banyak adat-istiadat, budaya, dan kesenian kita yang dipakai di Malaysia. Ini menunjukkan betapa erat sebenarnya hubungan emosional kita dengan negara tetangga tersebut. Soal lagu dan tarian Indang Sungai Garinggiang yang dibawakan orang Malaysia dalam festival di Osaka, siapa tahu mereka mewakili negara bagian Negeri Sembilan, yang merupakan kembaran dari Sumatera Barat. Begitu pula dengan lagu Rasa Sayange atau batik yang bahkan telah dipatenkan orang Malaysia sebagai milik mereka.
Justru dengan tetap memupuk semangat serumpun yang tinggi, kita juga harus berpacu cepat mengejar ketertinggalan dari saudara-saudara kita di Malaysia, yang telah menjadikan pelbagai peninggalan adat/budaya ini sebagai alat untuk maju lebih jauh ke depan.

Editorial Tribun Pekanbaru, 27 Oktober 2007

Kamis, 01 November 2007

Perlu Belajar ke Kutai



Arifin kini telah tiada. Murid kelas tiga SMP itu tewas keracunan saat membersihkan tangki Crude Palm Oil (CPO) di tongkang Kapuas Jaya 01. Teman sebayanya, Herman alias Boy, yang sama-sama berusia 15 tahun, juga mengalami nasib yang sama.
Suasana sedih sangat terasa di rumah Arifin di Desa Sendolas, Kelurahan Pulau Gelang, Kecamatan Cenaku, Kabupaten Indragiri Hilir. Sebab, selain Arifin, abangnya Ilham (17) juga ikut tewas dalam kejadian pada Selasa malam lalu. Ibu mereka, R Saudah, tak henti-hentinya menangis di samping jenazah anak ke lima dan ke enam dari 13 bersaudara itu. Ia tak menyangka, keduanya menyusul kepergian ayahnya yang seminggu lagi genap satu tahun meninggalkan mereka.
Arifin, yang merupakan anak laki-laki tertua setelah Imam, merasa terpanggil membantu abangnya. Sejak ayah mereka meninggal dunia, Ilham berhenti sekolah lalu menggeluti pekerjaan membersihkan tangki CPO untuk kehidupan mereka sekeluarga.
Ironisnya, dari enam yang tewas dalam kejadian nahas itu, seluruhnya masih punya hubungan kekeluargaan yang dekat. Inilah yang membuat Saudah menjadi kian merasa nestapa.
Tapi, yang perlu menjadi perhatian pemerintah agaknya bukanlah masalah kesedihan ini. Dari 11 orang yang menjadi korban dalam kejadian tersebut -- enam di antaranya meninggal dunia -- ternyata delapan orang tergolong masih di bawah umur. Ini jika mengacu kepada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Anak-anak memang boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari.
Selain itu, menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 (BNNo. 6617hal. 20B) tentang Penanggulangan Pekerja Anak (PPA), disebutkan PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya.
Menurut Abdul Halim, Koordinator International Labour Organization (ILO) Bidang Penanganan Pekerja Anak, jumlah pekerja anak di Indonesia masih mencapai 2,6 juta jiwa. Tak jauh berbeda dengan angka tahun 2004 sebesar 2,8 juta.
Banyaknya jumlah pekerja anak, menurut Abdul Hakim, sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan penduduk. Kendati, kemiskinan bukan satu-satunya penyebab anak-anak terpaksa bekerja. Maraknya sektor perekonomian informal menjadi sebab lain yang membuat anak terdorong untuk bekerja.
Keluarga miskin terpaksa mengerahkan sumber daya keluarga untuk secara kolektif memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi demikian mendorong anak-anak yang belum mencapai usia untuk bekerja terpaksa harus bekerja. Hasil penelitian menunjukkan, anak-anak yang bekerja ternyata bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, melainkan justru untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Untuk menanggulangi masalah pekerja anak, agaknya kita bisa belajar ke Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. Pemerintah kabupaten ini telah menggelar program Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) sejak tahun 2002. Intinya melarang keras anak-anak usia sekolah atau di bawah umur dipekerjakan atau bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Menurut Bupati Kukar, Syaukani, tugas anak adalah sekolah, jangan disuruh bekerja mencari nafkah. Orangtua harus melindungi hak-hak anak, memberikan indahnya masa kecil yang pantas mereka dapatkan, dan menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi mereka.
Untuk mendukung program ZBPA, secara komprehensif Pemkab Kukar mengembangkan sektor pendidikan, pembangunan ekonomi dan pelayanan sosial. Itu dituangkan dalam grand strategy program Gerakan Pengembangan Pemberdayaan Kutai Kartanegara (Gerbang Dayaku). Untuk menarik minat anak-anak putus sekolah yang sudah bekerja agar mau kembali ke bangku sekolah, dilakukan program konseling, dan bahkan rehabilitasi sosial.
Jika program ini dapat berjalan normal, korban-korban seperti Arifin cs diperkirakan tak akan terjadi lagi. Jadi, apa salahnya kita mencontoh dari Kutai, kalau manfaatnya lebih besar ketimbang mudharatnya.
Editortial Tribun Pekanbaru, 1 November 2007

Jumat, 26 Oktober 2007

Legal atau Illegal

 
Aparat kepolisian nampaknya masih harus lebih bekerja keras lagi mengungkap kasus pembalakan liar (illegal logging) yang demikian marak terjadi di Riau. Kendati telah berhasil menjadikan ratusan orang sebagai tersangka -- termasuk beberapa orang kuat di Dinas Kehutanan serta bos-bos perusahaan raksasa di kawasan ini -- tapi polisi belum bisa berpuas diri.
Selasa pekan lalu, misalnya, Kejaksaan Tinggi mengembalikan beberapa berkas kasus tersangka illegal logging yang sebelumnya telah diserahkan polisi ke kejaksaan. Alasan pengembalian, menurut jaksa, karena masih ada beberapa item yang harus dilengkapi polisi.
Sebagai petugas penyidik, polisi memang harus cermat, akurat, dan tepat, dalam membuat berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sekiranya ada BAP yang masih bolong-bolong, kemungkinan besar bisa membuat seorang terdakwa -- yang sesungguhnya melakukan kejahatan -- akan dibebaskan hakim di pengadilan.
Kejaksaaan sebagai aparat yang ditunjuk mewakili negara dalam berperkara di pengadilan, tentu tak mau mengambil resiko buruk seperti itu. Hanya gara-gara polisi yang tak cermat membuat BAP, terdakwa sampai bisa lolos dari jerat hukum. Apalagi, jika sampai ada terdakwa yang dibebaskan, maka aparat kejaksaan akan kena hukuman eksaminasi dari atasannya.
Nah, sebagai pintu masuk sebuah perkara pidana, akhirnya dituntut kejelian yang lebih besar dari aparat kepolisian dalam menangani setiap perkara. Untuk kasus-kasus tertentu yang menyangkut instansi lain, misalnya, polisi harus benar-benar tahu tentang masalah di lintas departemen, sehingga tak dianggap konyol oleh instansi tersebut.
Dalam kasus illegal logging ini, misalnya, seperti diungkapkan di pelbagai media massa, ada kesan polisi dianggap tak terlalu mengerti banyak masalah kehutanan. Akibatnya, langkah-langkah hukum yang dilakukan polisi pun dianggap telah melampaui kewenangannya.
Pada kuliah umum di Fakultas Kehutanan UGM, Jumat (14/9), misalnya, Menteri Kehutanan Malam Sabat Kaban dengan tegas mengatakan hingga sekarang tidak ada illegal logging di Riau.
Agaknya, tanpa bermaksud mengecilkan kerja keras yang telah dilakukan aparat kepolisian, Kaban juga menilai persoalan Riau sebenarnya tidak perlu sampai ke presiden jika masing-masing pihak mengikuti aturan yang ada termasuk masalah pemberantasan illegal logging.
Debat pendapat seperti ini tentu saja sah-sah dilakukan. Namun, aksi yang dilakukan polisi itu tampaknya bukan untuk sekadar 'balas dendam' atau cari-cari masalah saja untuk tujuan tertentu. Dari masukan yang diberikan beberapa lembaga swadaya masyarakat bidang kehutanan, ditambah dengan kesusahpayaan aparat polisi mengecek langsung ke lapangan, terbukti hutan di Riau memang sudah cukup parah kerusakannya. Penggundulan terjadi di mana-mana, bahkan sampai ke kawasan hutan lindung dan konservasi sekalipun.
Sebagai aparat yang biasanya mengurusi maling, ilmu kepolisian tentu saja kemudian mengarah ke mana kayu-kayu curian tersebut dijual atau ditampung. Mau tak mau, akhirnya tudingan pun mengarah ke beberapa perusahaan besar yang selama ini membutuhkan kayu dalam jumlah banyak untuk bahan baku pabriknya. Apalagi, hutan tanaman industri (HTI) yang diandalkan untuk bahan baku, hingga kini belum bisa memenuhi kebutuhan.
Dengan distopnya suplai bahan baku oleh polisi, tentu saja membuat pelbagai pihak menjadi merasa panas-dingin. Bahkan, sampai ada ancaman hal ini akan memukul investasi di Riau sehingga menyebabkan akan terjadinya pengangguran besar-besaran.
Tarik-menarik kepentingan yang terjadi pun membuat kasus ini -- seperti yang disayangkan Menteri Kehutanan -- akhirnya memang bermuara juga ke meja presiden. Hal inilah yang kemudian menggelitik Presiden SBY untuk membentuk tim gabungan dipimpin Menko Polhukam Widodo AS untuk melakukan cross cek di lapangan.
Kehadiran tim langsung ke lapangan memang dinantikan hampir semua pihak, termasuk oleh masyarakat sendiri. Sebab, kita semua pun yakin, sebagaimana aparat kepolisian yang sebelumnya telah turun ke lapangan dan menemukan terjadinya pembalakan liar, mereka bukan hanya memandangnya dari kacamata hukum semata. Tapi, juga dari hati nurani yang paling dalam, yang merasa was-was akan terjadi 'neraka' baru jika hutan di Riau benar-benar musnah akibat pelbagai kepentingan. Apakah ini yang kita inginkan?

Imbauan di Bulan Ramadhan

Untuk menghormati orang yang melaksanakan ibadah puasa, seperti telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, Wali Kota Pekanbaru membuat imbauan agar warung kopi dan nasi tidak buka mulai Subuh hingga pukul 5 sore selama Bulan Ramadhan. Dengan imbauan itu, diharapkan masyarakat menjadi berpikir sekian kali untuk tidak berpuasa. Sebab, sama saja laparnya orang yang berpuasa dengan yang tidak, karena tidak ada warung yang buka untuk melepaskan lapar dan dahaga.
Jika dilihat sepintas lalu, imbauan ini nampaknya dipatuhi warung kopi dan nasi yang terdapat di seantero Pekanbaru. Hampir semua tempat penjual makanan dan minuman ini terlihat tutup, kecuali ada beberapa restoran besar yang seperti memiliki izin khusus untuk tetap beroperasi pada siang hari selama Ramadhan.
Namun, sudah menjadi pemandangan sehari-hari, di dalam sebagian warung makan dan kopi yang tutup itu ternyata berjubel orang-orang yang sedang makan maupun ngopi. Bahkan ruangan yang umumnya nyaris tanpa ventilasi itu pun tampak sudah jadi seperti gudang asap karena banyaknya orang merokok.
Setidaknya hal itu dibuktikan ketika Satpol PP bersama anggota Kodim 031 Pekanbaru melakukan razia mendadak di sejumlah warung nasi dan kopi di pusat kota Pekanbaru, Senin (17/9). Mereka menemukan banyak orang yang asyik makan, minum, maupun merokok di sana. Sebagian di antaranya adalah pegawai negeri berpakaian dinas.
Menurut Kepala Kantor Satpol PP, Alizar, pihaknya melakukan razia sesuai dengan imbauan Wali Kota Pekanbaru agar warung makanan dan minuman tidak buka pagi hingga sore selama bulan Ramadhan. Sebagai hukuman terhadap warung yang melanggar imbauan tersebut, petugas Satpol PP pun mengangkut seluruh kursi ke dalam truk.
Imbauan Wali Kota terhadap para pemilik warung ini memang sangat tepat. Setidaknya hal ini menjadi pemacu bagi masyarakat untuk ikut melaksanakan ibadah puasa. Sebab, jika ada yang dari rumah berpuasa tapi kemudian di luar ingin ngopi, merokok, atau makan siang, dia akan kesulitan mencari sarana untuk melampiaskannya. Maklum, warung kopi dan nasi tidak ada yang buka.
Seperti difirmankan Allah dalam Surah Al Baqarah, diwajibkan kepada orang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa pada Bulan Ramadhan. Sebagai kawasan tanah Melayu yang identik dengan Islam, sudah tentu tepat jika Wali Kota mengikuti firman tersebut dan membuat imbauan seperti itu, sehingga nuansa Islami di kota ini tetap terasa kental.
Memang, dalam kelanjutan Surah tersebut juga disebutkan ada pengecualian terhadap beberapa kalangan untuk bisa tidak berpuasa. Seperti orang yang dalam perjalanan (musafir), orang sakit, jompo, dan kabarnya juga pekerja berat.
Berpatok dari ketentuan tersebut, alangkah lengkapnya jika imbauan Wali Kota juga bisa mencakup kepentingan kalangan yang menurut Al Quran diperkenankan untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Sebab, sebagai sebuah kota yang berkembang pesat, sudah tentu kalangan seperti ini banyak yang menjadi warga Pekanbaru.
Agaknya menarik menyimak langkah yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bengkalis, yang juga sangat kental dengan nuansa Melayunya itu. Untuk menghormati warganya yang berpuasa, sang bupati justru memperkenankan warung kopi dan nasi buka selebar-lebarnya selama Ramadhan. Pertimbangannya menerapkan peraturan itu masuk akal juga. Siapa pula yang berani makan atau minum seenaknya di warung pada siang hari di bulan Ramadhan itu. Biasanya orang tersebut akan malu kepada anak, isteri, keluarga, atau tetangganya yang mungkin saja kebetulan melintas di sana.
Dengan begitu, Ramadhan ini tak perlu membuat orang menjadi "munafik", pura-pura berpuasa tapi diam-diam masuk ke warung tertutup yang pintunya dibuka dari belakang. Pemilik warung pun jadi tak perlu lagi kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Artinya, warung mereka bisa tetap buka untuk memenuhi para warga dari kalangan yang dibenarkan untuk tidak puasa, maupun bagi saudara kita yang berkeyakinan lain. Apalagi, pemilik warung juga butuh pencarian untuk kehidupannya sekeluarga, terlebih menjelang hari raya yang biasanya membutuhkan biaya tambahan lebih banyak lagi.
Di Malaysia sendiri, negara yang secara penuh menjalankan syariat Islam, rumah makan tetap buka siang hari selama Ramadhan. Hanya saja, jika ketahuan ada orang muslim yang makan, maka akan segera ditangkap Polisi Syariah. Selain menjatuhkan hukuman terhadap konsumen, pemilik warung pun juga akan kena.

Kasus Hanggi di Mata Hukum

 
Hasrat Hanggi untuk bisa makan sahur dan buka puasa bersama keluarga akhirnya terkabul juga. Dengan tubuh agak kuyu, remaja usia 19 tahun ini keluar dari sel tahanan Kepolisian Sektor (Polsek) Kota Pekanbaru, Senin (17/9), atas permohonan pihak keluarga bersama tim kuasa hukumnya.
Dijebloskannya pria bertubuh atletis ini sepekan sebelumnya sebenarnya hanya karena persoalan perkelahian biasa saja. Saat pulang liburan kuliah menyambut Ramadhan dari Bandung, tiba-tiba Hanggi berpapasan dengan Dimas Febrioka, seterunya sewaktu masih sekolah di SMAN 1 Pekanbaru.
Saat itu, menurut versi polisi, Hanggi langsung menyerang Dimas sehingga lawannya yang lebih kecil itu mengalami luka yang lumayan serius. Giginya patah dan wajahnya lebam.
Namanya kenakalan remaja, kasus pukul-memukul seperti ini biasanya habis sampai sebatas itu saja. Paling mungkin, lawan yang kalah kemudian datang lagi membawa kawannya untuk melakukan serangan balas.
Tapi, untuk kasus yang satu ini tampaknya berkembang lebih besar lagi, bahkan sampai menjadi isu nasional. Masalahnya, Hanggi yang menjadi semacam 'algojo' dalam kejadian itu, ternyata adalah alumni IPDN.
Seperti telah ramai diberitakan di media massa nasional maupun lokal, kampus IPDN tempat mencetak para birokrat ini memang sekarang lebih dikenal sebagai pencetak para 'algojo'. Kampus ini seperti tiada henti dari berita soal penganiayaan yang dilakukan para praja -- panggilan untuk mahasiswa. Bukan lagi hanya praja yunior saja yang jadi korban mereka, masyarakat sekitar pun sudah ada yang tewas 'dikerjai' para praja itu.
Nah, begitu Hanggi menerapkan ilmu yang didapatnya dari Jatinangor tersebut di Kota Bertuah ini, masyarakat pun seperti tersontak kaget. Dengan begitu, kejadian-kejadian di Jatinangor yang selama ini masih belum begitu dipercayai banyak orang, akhirnya kian terkuak kebenarannya. Boleh jadi Hanggi menyesal dengan kejadian tersebut. Akibat peristiwa yang tak mengenakkan ini, ia pun terpaksa harus tidur kedinginan di sel tahanan polisi. Sementara teman-temannya satu kampus sudah meneruskan perkuliahannya agar kelak dapat menjadi pejabat tinggi di pemerintahan.
Harapan Hanggi untuk bisa keluar dari ruang pengap tersebut sebenarnya terbilang tipis. Kendati orangtuanya kebetulan termasuk cukup berpengaruh di rantau ini, tapi kasus yang dialaminya sudah menjadi perbincangan banyak orang, bahkan telah menasional. Apalagi, menurut Kombes Syafril Nursal, Kepala Kepolisian Kota Besar (kapoltabes) Pekanbaru, kasus pemukulan yang dilakukan Hanggi sudah memenuhi unsur pidana Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.
Jadi, agak mengejutkan ketika kemudian terbetik kabar Hanggi bisa juga keluar dari sel tahanan polisi. Sebab, seperti dianalogikan Zul Akrial, Dosen Fakultas Hukum UIR, preman pasar tidak diperbolehkan menerima penangguhan penahanan, sementara orang berduit dan memiliki kekuasaan dapat menerima hak hukum itu.
Soal penangguhan penahanan ini sebenarnya ada aturan mainnya. Menurut Kombes Syafril Nursal, hal ini dapat dilakukan asal tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan yang sama. Ternyata, tambahnya, ketiga unsur tersebut telah dipenuhi oleh pihak Hanggi. Selain itu, pertimbangan lainnya karena Hanggi masih muda dan berstatus mahasiswa IPDN.
Keluarnya Hanggi dari sel polisi tentu tak membuat perkara ini kemudian dihentikan begitu saja. Artinya, perkaranya terus diproses sehingga akhirnya nanti praja IPDN itu tetap akan diseret ke meja hijau.
Namun, menurut Zul Akrial, karena Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) belum diserahkan polisi ke kejaksaan, berarti masih terbuka peluang untuk mempetieskannya. Dengan kata lain, polisi masih memiliki hak untuk tidak melanjutkan proses penyidikannya.
Mengingat kasus ini sudah menjadi perbincangan khalayak dan telah menasional, masih beranikah aparat hukum mempermainkannya? Mari sama-sama kita tunggu.

Tanda Lemahnya Manajemen Keamanan


JUMAT pekan lalu kami menampilkan editorial berjudul "Kejahatan Sudah Ibarat Tayangan Film". Belum seminggu editorial tersebut kami buat, kini terjadi lagi aksi kejahatan yang lebih seru, bahkan hampir mengalahkan aksi kejahatan yang diperankan artis-artis Hollywood dalam film laga.
Kendati kali ini kejadiannya tak berdarah-darah, namun terasa sangat mencengangkan. Sekawanan penjahat Kamis malam (27/9) membobol BRI yang terletak di jantung kota Pekanbaru di Jalan Nangka/Tambusai. Para penjahat ini konon berhasil menggasak uang sekitar Rp 700 juta dari bank tersebut, tanpa perlu memuntahkan peluru atau pun mencederai orang lain.
Cara pembobolan yang dilakukan kawanan tersebut memang tampak sudah mendekati sempurna, dan sama sekali tak mengundang kecurigaan. Awalnya, seperti diungkapkan polisi, mereka menyewa rumah yang persis berada di sebelah bank itu.
Sore hari menyewa toko, malamnya mereka langsung beraksi. Begitu semua pegawai bank pulang, kawanan ini pun mulai membobol dinding di lantai dua. Dari sini mereka masuk dan mengobrak-abrik brankas dengan menggunakan las karbit yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Usai menggondol seluruh uang tunai, mereka pun masuk ke mobil Inova yang telah stand by di rumah yang mereka sewa, dan kemudian langsung tancap gas. Tanpa ada dar...der...dor sama sekali, kawanan ini dengan mulus meraup fulus ratusan juta rupiah hanya dalam beberapa jam saja.
Modus pembobolan bank seperti ini boleh dikatakan merupakan hal yang baru pertama kali terjadi, setidaknya untuk kawasan Pekanbaru. Biasanya perampok masih melakukan aksi di luar bank dengan mengincar nasabah yang baru saja pulang mengambil uang.
Dari pemeriksaan terhadap petugas keamanan bank dan pelbagai pihak lainnya, kabarnya polisi telah mengantongi identitas penjahat tersebut. Memang, aparat kepolisian belum mengungkap siapa saja pelakunya. Namun, kecepatan polisi dalam mengungkap kasus ini perlu juga mendapat acungan jempol.
Kendati begitu, pengusutan-pengusutan manual seperti itu sebenarnya sudah harus dibarengi aparat kepolisian dengan penyelidikan yang lebih canggih lagi. Di era teknologi yang demikian canggih saat ini, rasanya kerja manual sudah terasa sangat ketinggalan.
Pihak bank pun sudah seharusnya kian dilengkapi peralatan canggih yang mampu mendeteksi aksi kejahatan sejak dini. Namun, sayangnya, jangankan peralatan canggih, peralatan manual pun tampaknya kurang mencukupi di bank plat merah yang dibobol penjahat itu.
Sebagai petunjuk, seperti sering terlihat dalam aksi perampokan di film-film lama, alarm langsung berbunyi keras begitu pintu kaca bank dipecahkan penjahat. Tapi, dalam kasus ini, kendati dinding bata telah dijebol, dan brankas dirusak dengan panas api yang cukup tajam, tak terdengar sama sekali suara alarm. Jangankan suara alarm yang langsung tersambungkan ke kantor polisi terdekat, suara alarm di bank itu pun -- seperti iklan sebuah merek mobil -- nyaris tak terdengar suaranya.
Dari contoh penjahat bisa dengan gampang dan mulus membobol BRI di Jalan Nangka tersebut, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa managemen keamanan bank tersebut sangatlah lemah. Padahal, pada saat itu saja hampir sebanyak Rp 1 miliar uang kas yang menjadi tanggungjawab negara disimpan di sana. Belum lagi barang berharga lainnya milik para nasabah, yang jika hilang juga tetap akan menjadi tanggungjawab BRI yang notabenenya adalah milik pemerintah.
Belajar dari musibah yang dialami BRI tersebut, sudah selayaknya diatur kembali soal persyaratan untuk keberadaan sebuah bank, kendati itu hanya sebagai cabang atau pun semata sebagai kantor kas saja. Misalnya, bangunan bank harus tersendiri atau tak boleh bersebelahan dinding dengan bangunan lainnya. Selain itu, bank juga harus memiliki alarm yang cukup, dan bila perlu harus tersambungkan ke kantor polisi terdekat.
Masih ingatkan kasus kapal tanker pengangkut minyak goreng yang dirampok saat berlayar dari daerah Sumatera Selatan, beberapa hari lalu. Saat itu kapten kapal sempat menekan alarm yang tersambung ke Markas TNI AL, sehingga kapal tersebut bisa segera dikejar.
Jadi, sangat ironis rasanya jika sebuah institusi perbankan, yang dipercayai nasabah untuk menyimpan uang dan barang berharga lainnya, ternyata tak memiliki managemen keamanan yang baik. Kalau begini, bagaimana nasabah akan percaya dengan dunia perbankan -- khususnya bank pelat merah milik pemerintah.