Jumat, 26 Oktober 2007

Legal atau Illegal

 
Aparat kepolisian nampaknya masih harus lebih bekerja keras lagi mengungkap kasus pembalakan liar (illegal logging) yang demikian marak terjadi di Riau. Kendati telah berhasil menjadikan ratusan orang sebagai tersangka -- termasuk beberapa orang kuat di Dinas Kehutanan serta bos-bos perusahaan raksasa di kawasan ini -- tapi polisi belum bisa berpuas diri.
Selasa pekan lalu, misalnya, Kejaksaan Tinggi mengembalikan beberapa berkas kasus tersangka illegal logging yang sebelumnya telah diserahkan polisi ke kejaksaan. Alasan pengembalian, menurut jaksa, karena masih ada beberapa item yang harus dilengkapi polisi.
Sebagai petugas penyidik, polisi memang harus cermat, akurat, dan tepat, dalam membuat berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Sekiranya ada BAP yang masih bolong-bolong, kemungkinan besar bisa membuat seorang terdakwa -- yang sesungguhnya melakukan kejahatan -- akan dibebaskan hakim di pengadilan.
Kejaksaaan sebagai aparat yang ditunjuk mewakili negara dalam berperkara di pengadilan, tentu tak mau mengambil resiko buruk seperti itu. Hanya gara-gara polisi yang tak cermat membuat BAP, terdakwa sampai bisa lolos dari jerat hukum. Apalagi, jika sampai ada terdakwa yang dibebaskan, maka aparat kejaksaan akan kena hukuman eksaminasi dari atasannya.
Nah, sebagai pintu masuk sebuah perkara pidana, akhirnya dituntut kejelian yang lebih besar dari aparat kepolisian dalam menangani setiap perkara. Untuk kasus-kasus tertentu yang menyangkut instansi lain, misalnya, polisi harus benar-benar tahu tentang masalah di lintas departemen, sehingga tak dianggap konyol oleh instansi tersebut.
Dalam kasus illegal logging ini, misalnya, seperti diungkapkan di pelbagai media massa, ada kesan polisi dianggap tak terlalu mengerti banyak masalah kehutanan. Akibatnya, langkah-langkah hukum yang dilakukan polisi pun dianggap telah melampaui kewenangannya.
Pada kuliah umum di Fakultas Kehutanan UGM, Jumat (14/9), misalnya, Menteri Kehutanan Malam Sabat Kaban dengan tegas mengatakan hingga sekarang tidak ada illegal logging di Riau.
Agaknya, tanpa bermaksud mengecilkan kerja keras yang telah dilakukan aparat kepolisian, Kaban juga menilai persoalan Riau sebenarnya tidak perlu sampai ke presiden jika masing-masing pihak mengikuti aturan yang ada termasuk masalah pemberantasan illegal logging.
Debat pendapat seperti ini tentu saja sah-sah dilakukan. Namun, aksi yang dilakukan polisi itu tampaknya bukan untuk sekadar 'balas dendam' atau cari-cari masalah saja untuk tujuan tertentu. Dari masukan yang diberikan beberapa lembaga swadaya masyarakat bidang kehutanan, ditambah dengan kesusahpayaan aparat polisi mengecek langsung ke lapangan, terbukti hutan di Riau memang sudah cukup parah kerusakannya. Penggundulan terjadi di mana-mana, bahkan sampai ke kawasan hutan lindung dan konservasi sekalipun.
Sebagai aparat yang biasanya mengurusi maling, ilmu kepolisian tentu saja kemudian mengarah ke mana kayu-kayu curian tersebut dijual atau ditampung. Mau tak mau, akhirnya tudingan pun mengarah ke beberapa perusahaan besar yang selama ini membutuhkan kayu dalam jumlah banyak untuk bahan baku pabriknya. Apalagi, hutan tanaman industri (HTI) yang diandalkan untuk bahan baku, hingga kini belum bisa memenuhi kebutuhan.
Dengan distopnya suplai bahan baku oleh polisi, tentu saja membuat pelbagai pihak menjadi merasa panas-dingin. Bahkan, sampai ada ancaman hal ini akan memukul investasi di Riau sehingga menyebabkan akan terjadinya pengangguran besar-besaran.
Tarik-menarik kepentingan yang terjadi pun membuat kasus ini -- seperti yang disayangkan Menteri Kehutanan -- akhirnya memang bermuara juga ke meja presiden. Hal inilah yang kemudian menggelitik Presiden SBY untuk membentuk tim gabungan dipimpin Menko Polhukam Widodo AS untuk melakukan cross cek di lapangan.
Kehadiran tim langsung ke lapangan memang dinantikan hampir semua pihak, termasuk oleh masyarakat sendiri. Sebab, kita semua pun yakin, sebagaimana aparat kepolisian yang sebelumnya telah turun ke lapangan dan menemukan terjadinya pembalakan liar, mereka bukan hanya memandangnya dari kacamata hukum semata. Tapi, juga dari hati nurani yang paling dalam, yang merasa was-was akan terjadi 'neraka' baru jika hutan di Riau benar-benar musnah akibat pelbagai kepentingan. Apakah ini yang kita inginkan?

Tidak ada komentar: