Jumat, 26 Oktober 2007

Kasus Hanggi di Mata Hukum

 
Hasrat Hanggi untuk bisa makan sahur dan buka puasa bersama keluarga akhirnya terkabul juga. Dengan tubuh agak kuyu, remaja usia 19 tahun ini keluar dari sel tahanan Kepolisian Sektor (Polsek) Kota Pekanbaru, Senin (17/9), atas permohonan pihak keluarga bersama tim kuasa hukumnya.
Dijebloskannya pria bertubuh atletis ini sepekan sebelumnya sebenarnya hanya karena persoalan perkelahian biasa saja. Saat pulang liburan kuliah menyambut Ramadhan dari Bandung, tiba-tiba Hanggi berpapasan dengan Dimas Febrioka, seterunya sewaktu masih sekolah di SMAN 1 Pekanbaru.
Saat itu, menurut versi polisi, Hanggi langsung menyerang Dimas sehingga lawannya yang lebih kecil itu mengalami luka yang lumayan serius. Giginya patah dan wajahnya lebam.
Namanya kenakalan remaja, kasus pukul-memukul seperti ini biasanya habis sampai sebatas itu saja. Paling mungkin, lawan yang kalah kemudian datang lagi membawa kawannya untuk melakukan serangan balas.
Tapi, untuk kasus yang satu ini tampaknya berkembang lebih besar lagi, bahkan sampai menjadi isu nasional. Masalahnya, Hanggi yang menjadi semacam 'algojo' dalam kejadian itu, ternyata adalah alumni IPDN.
Seperti telah ramai diberitakan di media massa nasional maupun lokal, kampus IPDN tempat mencetak para birokrat ini memang sekarang lebih dikenal sebagai pencetak para 'algojo'. Kampus ini seperti tiada henti dari berita soal penganiayaan yang dilakukan para praja -- panggilan untuk mahasiswa. Bukan lagi hanya praja yunior saja yang jadi korban mereka, masyarakat sekitar pun sudah ada yang tewas 'dikerjai' para praja itu.
Nah, begitu Hanggi menerapkan ilmu yang didapatnya dari Jatinangor tersebut di Kota Bertuah ini, masyarakat pun seperti tersontak kaget. Dengan begitu, kejadian-kejadian di Jatinangor yang selama ini masih belum begitu dipercayai banyak orang, akhirnya kian terkuak kebenarannya. Boleh jadi Hanggi menyesal dengan kejadian tersebut. Akibat peristiwa yang tak mengenakkan ini, ia pun terpaksa harus tidur kedinginan di sel tahanan polisi. Sementara teman-temannya satu kampus sudah meneruskan perkuliahannya agar kelak dapat menjadi pejabat tinggi di pemerintahan.
Harapan Hanggi untuk bisa keluar dari ruang pengap tersebut sebenarnya terbilang tipis. Kendati orangtuanya kebetulan termasuk cukup berpengaruh di rantau ini, tapi kasus yang dialaminya sudah menjadi perbincangan banyak orang, bahkan telah menasional. Apalagi, menurut Kombes Syafril Nursal, Kepala Kepolisian Kota Besar (kapoltabes) Pekanbaru, kasus pemukulan yang dilakukan Hanggi sudah memenuhi unsur pidana Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan.
Jadi, agak mengejutkan ketika kemudian terbetik kabar Hanggi bisa juga keluar dari sel tahanan polisi. Sebab, seperti dianalogikan Zul Akrial, Dosen Fakultas Hukum UIR, preman pasar tidak diperbolehkan menerima penangguhan penahanan, sementara orang berduit dan memiliki kekuasaan dapat menerima hak hukum itu.
Soal penangguhan penahanan ini sebenarnya ada aturan mainnya. Menurut Kombes Syafril Nursal, hal ini dapat dilakukan asal tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatan yang sama. Ternyata, tambahnya, ketiga unsur tersebut telah dipenuhi oleh pihak Hanggi. Selain itu, pertimbangan lainnya karena Hanggi masih muda dan berstatus mahasiswa IPDN.
Keluarnya Hanggi dari sel polisi tentu tak membuat perkara ini kemudian dihentikan begitu saja. Artinya, perkaranya terus diproses sehingga akhirnya nanti praja IPDN itu tetap akan diseret ke meja hijau.
Namun, menurut Zul Akrial, karena Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) belum diserahkan polisi ke kejaksaan, berarti masih terbuka peluang untuk mempetieskannya. Dengan kata lain, polisi masih memiliki hak untuk tidak melanjutkan proses penyidikannya.
Mengingat kasus ini sudah menjadi perbincangan khalayak dan telah menasional, masih beranikah aparat hukum mempermainkannya? Mari sama-sama kita tunggu.

Tidak ada komentar: