Jumat, 26 Oktober 2007

Tanda Lemahnya Manajemen Keamanan


JUMAT pekan lalu kami menampilkan editorial berjudul "Kejahatan Sudah Ibarat Tayangan Film". Belum seminggu editorial tersebut kami buat, kini terjadi lagi aksi kejahatan yang lebih seru, bahkan hampir mengalahkan aksi kejahatan yang diperankan artis-artis Hollywood dalam film laga.
Kendati kali ini kejadiannya tak berdarah-darah, namun terasa sangat mencengangkan. Sekawanan penjahat Kamis malam (27/9) membobol BRI yang terletak di jantung kota Pekanbaru di Jalan Nangka/Tambusai. Para penjahat ini konon berhasil menggasak uang sekitar Rp 700 juta dari bank tersebut, tanpa perlu memuntahkan peluru atau pun mencederai orang lain.
Cara pembobolan yang dilakukan kawanan tersebut memang tampak sudah mendekati sempurna, dan sama sekali tak mengundang kecurigaan. Awalnya, seperti diungkapkan polisi, mereka menyewa rumah yang persis berada di sebelah bank itu.
Sore hari menyewa toko, malamnya mereka langsung beraksi. Begitu semua pegawai bank pulang, kawanan ini pun mulai membobol dinding di lantai dua. Dari sini mereka masuk dan mengobrak-abrik brankas dengan menggunakan las karbit yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Usai menggondol seluruh uang tunai, mereka pun masuk ke mobil Inova yang telah stand by di rumah yang mereka sewa, dan kemudian langsung tancap gas. Tanpa ada dar...der...dor sama sekali, kawanan ini dengan mulus meraup fulus ratusan juta rupiah hanya dalam beberapa jam saja.
Modus pembobolan bank seperti ini boleh dikatakan merupakan hal yang baru pertama kali terjadi, setidaknya untuk kawasan Pekanbaru. Biasanya perampok masih melakukan aksi di luar bank dengan mengincar nasabah yang baru saja pulang mengambil uang.
Dari pemeriksaan terhadap petugas keamanan bank dan pelbagai pihak lainnya, kabarnya polisi telah mengantongi identitas penjahat tersebut. Memang, aparat kepolisian belum mengungkap siapa saja pelakunya. Namun, kecepatan polisi dalam mengungkap kasus ini perlu juga mendapat acungan jempol.
Kendati begitu, pengusutan-pengusutan manual seperti itu sebenarnya sudah harus dibarengi aparat kepolisian dengan penyelidikan yang lebih canggih lagi. Di era teknologi yang demikian canggih saat ini, rasanya kerja manual sudah terasa sangat ketinggalan.
Pihak bank pun sudah seharusnya kian dilengkapi peralatan canggih yang mampu mendeteksi aksi kejahatan sejak dini. Namun, sayangnya, jangankan peralatan canggih, peralatan manual pun tampaknya kurang mencukupi di bank plat merah yang dibobol penjahat itu.
Sebagai petunjuk, seperti sering terlihat dalam aksi perampokan di film-film lama, alarm langsung berbunyi keras begitu pintu kaca bank dipecahkan penjahat. Tapi, dalam kasus ini, kendati dinding bata telah dijebol, dan brankas dirusak dengan panas api yang cukup tajam, tak terdengar sama sekali suara alarm. Jangankan suara alarm yang langsung tersambungkan ke kantor polisi terdekat, suara alarm di bank itu pun -- seperti iklan sebuah merek mobil -- nyaris tak terdengar suaranya.
Dari contoh penjahat bisa dengan gampang dan mulus membobol BRI di Jalan Nangka tersebut, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa managemen keamanan bank tersebut sangatlah lemah. Padahal, pada saat itu saja hampir sebanyak Rp 1 miliar uang kas yang menjadi tanggungjawab negara disimpan di sana. Belum lagi barang berharga lainnya milik para nasabah, yang jika hilang juga tetap akan menjadi tanggungjawab BRI yang notabenenya adalah milik pemerintah.
Belajar dari musibah yang dialami BRI tersebut, sudah selayaknya diatur kembali soal persyaratan untuk keberadaan sebuah bank, kendati itu hanya sebagai cabang atau pun semata sebagai kantor kas saja. Misalnya, bangunan bank harus tersendiri atau tak boleh bersebelahan dinding dengan bangunan lainnya. Selain itu, bank juga harus memiliki alarm yang cukup, dan bila perlu harus tersambungkan ke kantor polisi terdekat.
Masih ingatkan kasus kapal tanker pengangkut minyak goreng yang dirampok saat berlayar dari daerah Sumatera Selatan, beberapa hari lalu. Saat itu kapten kapal sempat menekan alarm yang tersambung ke Markas TNI AL, sehingga kapal tersebut bisa segera dikejar.
Jadi, sangat ironis rasanya jika sebuah institusi perbankan, yang dipercayai nasabah untuk menyimpan uang dan barang berharga lainnya, ternyata tak memiliki managemen keamanan yang baik. Kalau begini, bagaimana nasabah akan percaya dengan dunia perbankan -- khususnya bank pelat merah milik pemerintah.