Tempo dulu, khususnya di kawasan Sumatera Timur, ada beberapa gurauan yang ditujukan kepada saudara serumpun kita di negeri seberang. Seperti ucapan hentak-hentak bumi untuk mengatakan jalan di tempat, rumah sakit korban lelaki untuk menyebutkan klinik bersalin, dan aske (askar) tak begune untuk para pensiunan tentara.
Namun, ucapan bernada gurauan versi masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera ini tentu sangat tak layak diberikan kepada tokoh semacam Syarwan Hamid, kendati beliau juga merupakan pensiunan tentara, tapi dengan pangkat yang cukup tinggi : Letnan Jenderal. Apalagi, sepanjang karirnya putera asli Siak ini menduduki berbagai jabatan strategis. Misalnya, pernah menjadi Kasosspol ABRI, Wakil Ketua MPR RI, bahkan sempat pula menduduki jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri.
Aneka prestasi yang telah dicapai Syarwan dalam skala nasional, seharusnya menjadikannya sebagai tokoh yang cukup disegani, dihargai, dan selalu menjadi tempat untuk meminta pendapat, nasihat, tunjuk ajar dan berbagai macam masukan lainnya. Setidaknya, di tanah Melayu yang menjadi tumpah darahnya ini, Syarwan selalu atau bahkan setiap saat tak pernah sepi dari kerumunan warganya yang lebih muda usia dan pengalaman.
Tapi, dari mimik wajah yang ditunjukkan Syarwan, ia tampak seperti orang kesepian di tengah riuhnya derap kemajuan di Bumi Lancang Kuning. Pemikiran-pemikirannya yang cukup cemerlang sehingga menjadi jalan baginya menduduki posisi-posisi cukup strategis dan penting di tanah air, kini seakan tak dibutuhkan lagi di tanah kelahirannya sendiri. Meminjam istilah tadi, Syarwan kini memang bak aske tak begune di negerinya sendiri.
Jenderal yang agak tempramental ini sebenarnya sangat menyadari soal perlakukan yang kurang menyenangkan ini. Sebagai orang tua yang sebenarnya telah masuk dalam strata sesepuh, selayaknya ia dihargai seperti menghormati orang tua sendiri.
Makanya, seakan tak mampu lagi mengendalikan emosi, dalam acara buka puasa bersama sejumlah pengurus Forum Nasional Perjuangan Otonomi Khusus beberapa waktu lalu di Rumah makan Pondok Baung, Jalan Sudirman, Pekanbaru, Syarwan pun langsung memuntahkan kekesalan-kekesalannya. "Apa salah di Riau dan apa dosa saya, sehingga saya diberlakukan seperti ini," katanya dengan nada tinggi.
Kekesalan Syarwan rupanya terkait dengan saat penabalan gelar adat Melayu Riau kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Balai Adat Melayu Riau, Pekanbaru, Agustus lalu. Sebagai sesepuh dan orang yang sebenarnya sangat dihargai di rantau ini, ternyata ia tak masuk dalam daftar nama tokoh yang menepungtawari Presiden.
Dalam kerangka berpikir obyektif, hal seperti ini sebenarnya tak terlalu menjadi masalah yang berarti. Apalah arti sebuah upacara mengoleskan kapur sirih ke tangan seseorang, lalu diikuti dengan menyiramkan kembang dan beras yang telah diramu sedemikian rupa.
Namun, dalam kerangka berpikir secara adat istiadat yang sejak turun-temurun dilaksanakan nenek moyang, ketidakikutannya memberikan tepung tawar itu bisa dianggap sebagai pelecehan, bahkan sampai ke rana penghinaan yang sangat dalam. Seseorang dapat saja merasakan hal ini seperti menginjak-injak harga dirinya.
Memang, dalam kehidupan modern sekarang ini, adat istiadat lebih condong kepada sekadar kenangan ataupun hiburan semata. Gelar adat yang diberikan tak sampai menyebabkan seseorang menjadi memiliki sebuah kekuasaan atau keistimewaan tertentu.
Tapi, sebagai orang timur yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, masalah seperti ini masih dianggap sebagai hal yang serius.
Kendati begitu, seperti yang tersirat, masalah ini sebenarnya hanya sebagai faktor pemicu keberangan Syarwan saja. Dengan kata lain, masih ada pelbagai perlakuan lainnya yang menyebabkan jenderal bintang tiga ini pun kemudian merasa dianggap seperti aske tak begune.
Berkaca dari kejadian tersebut, selayaknya para pemimpin di Riau lebih menghargai yang lebih tua, baik dari segi usia maupun dalam pengalamannya. Sebab, banyak pemikiran, setidaknya pengalaman atau jam terbang mereka yang dapat dijadikan cermin untuk melaksanakan pembangunan ke depan. Janganlah bak kata pepatah: habis manis sepah dibuang.
Namun, ucapan bernada gurauan versi masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera ini tentu sangat tak layak diberikan kepada tokoh semacam Syarwan Hamid, kendati beliau juga merupakan pensiunan tentara, tapi dengan pangkat yang cukup tinggi : Letnan Jenderal. Apalagi, sepanjang karirnya putera asli Siak ini menduduki berbagai jabatan strategis. Misalnya, pernah menjadi Kasosspol ABRI, Wakil Ketua MPR RI, bahkan sempat pula menduduki jabatan sebagai Menteri Dalam Negeri.
Aneka prestasi yang telah dicapai Syarwan dalam skala nasional, seharusnya menjadikannya sebagai tokoh yang cukup disegani, dihargai, dan selalu menjadi tempat untuk meminta pendapat, nasihat, tunjuk ajar dan berbagai macam masukan lainnya. Setidaknya, di tanah Melayu yang menjadi tumpah darahnya ini, Syarwan selalu atau bahkan setiap saat tak pernah sepi dari kerumunan warganya yang lebih muda usia dan pengalaman.
Tapi, dari mimik wajah yang ditunjukkan Syarwan, ia tampak seperti orang kesepian di tengah riuhnya derap kemajuan di Bumi Lancang Kuning. Pemikiran-pemikirannya yang cukup cemerlang sehingga menjadi jalan baginya menduduki posisi-posisi cukup strategis dan penting di tanah air, kini seakan tak dibutuhkan lagi di tanah kelahirannya sendiri. Meminjam istilah tadi, Syarwan kini memang bak aske tak begune di negerinya sendiri.
Jenderal yang agak tempramental ini sebenarnya sangat menyadari soal perlakukan yang kurang menyenangkan ini. Sebagai orang tua yang sebenarnya telah masuk dalam strata sesepuh, selayaknya ia dihargai seperti menghormati orang tua sendiri.
Makanya, seakan tak mampu lagi mengendalikan emosi, dalam acara buka puasa bersama sejumlah pengurus Forum Nasional Perjuangan Otonomi Khusus beberapa waktu lalu di Rumah makan Pondok Baung, Jalan Sudirman, Pekanbaru, Syarwan pun langsung memuntahkan kekesalan-kekesalannya. "Apa salah di Riau dan apa dosa saya, sehingga saya diberlakukan seperti ini," katanya dengan nada tinggi.
Kekesalan Syarwan rupanya terkait dengan saat penabalan gelar adat Melayu Riau kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Balai Adat Melayu Riau, Pekanbaru, Agustus lalu. Sebagai sesepuh dan orang yang sebenarnya sangat dihargai di rantau ini, ternyata ia tak masuk dalam daftar nama tokoh yang menepungtawari Presiden.
Dalam kerangka berpikir obyektif, hal seperti ini sebenarnya tak terlalu menjadi masalah yang berarti. Apalah arti sebuah upacara mengoleskan kapur sirih ke tangan seseorang, lalu diikuti dengan menyiramkan kembang dan beras yang telah diramu sedemikian rupa.
Namun, dalam kerangka berpikir secara adat istiadat yang sejak turun-temurun dilaksanakan nenek moyang, ketidakikutannya memberikan tepung tawar itu bisa dianggap sebagai pelecehan, bahkan sampai ke rana penghinaan yang sangat dalam. Seseorang dapat saja merasakan hal ini seperti menginjak-injak harga dirinya.
Memang, dalam kehidupan modern sekarang ini, adat istiadat lebih condong kepada sekadar kenangan ataupun hiburan semata. Gelar adat yang diberikan tak sampai menyebabkan seseorang menjadi memiliki sebuah kekuasaan atau keistimewaan tertentu.
Tapi, sebagai orang timur yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, masalah seperti ini masih dianggap sebagai hal yang serius.
Kendati begitu, seperti yang tersirat, masalah ini sebenarnya hanya sebagai faktor pemicu keberangan Syarwan saja. Dengan kata lain, masih ada pelbagai perlakuan lainnya yang menyebabkan jenderal bintang tiga ini pun kemudian merasa dianggap seperti aske tak begune.
Berkaca dari kejadian tersebut, selayaknya para pemimpin di Riau lebih menghargai yang lebih tua, baik dari segi usia maupun dalam pengalamannya. Sebab, banyak pemikiran, setidaknya pengalaman atau jam terbang mereka yang dapat dijadikan cermin untuk melaksanakan pembangunan ke depan. Janganlah bak kata pepatah: habis manis sepah dibuang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar