Jumat, 26 Oktober 2007

Bukan Berkah bagi Orang Miskin


PUASA Ramadhan tinggal sekitar seminggu lagi. Perjuangan menahan lapar dan haus serta menjaga emosi sebentar lagi akan berakhir. Pekik kemenangan melawan musuh berupa hawa nafsu itu akan tiba saatnya pada Hari Raya Idul Fitri mendatang, berupa gema takbiran yang akan dikumandangkan umat secara bersahut-sahutan.
Detik-detik menghadapi hari kemenangan sudah semakin terasa. Pasar dan tempat berbelanja lainnya kini sudah mulai dibanjiri pembeli. Anak-anak mulai merengek minta dibelikan baju, celana, dan sepatu serba baru. Kaum ibu pun tampak mulai sibuk membenahi rumah dan menyiapkan aneka penganan untuk hari raya mendatang.
Sementara para pekerja kini sudah sibuk menanti kapan tunjangan hari raya (THR) akan diberikan. Mereka pun mulai menghitung hari, menyesuaikan jadwal libur perusahaan dengan lamanya mudik ke kampung halaman.
Begitulah potret kehidupan masyarakat kita setiap menghadapi saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Dari tahun ke tahun, seperti sebuah siklus, kesibukan seperti ini terus berulang terjadi. Artinya, masyarakat seakan tak pernah merasa bosan menghadapi satu dari bagian siklus kehidupan tersebut.
Padahal, agar bisa turut melaksanakan kegiatan tersebut, banyak benar pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya, bahkan juga pengorbanan spiritual yang harus dilakukan. Namun, masyarakat seperti tak mau perduli, dan tetap berupaya untuk ikut dalam siklus tersebut.
Dalam sebuah survei yang dilakukan Lembaga Analisis Informasi (Essai) mengenai "Puasa dan Kemiskinan" di Palembang belum lama ini, terungkap bahwa sebanyak 60 persen umat Muslim yang tak berpuasa adalah orang miskin, seperti tukang becak, sopir bus kota, sopir angkot, dan buruh bangunan.
Menurut Wardah Hafidz, Ketua Urban Poor Consortium (UPC), orang miskin yang tidak berpuasa di Bulan Ramadhan itu tak bisa disalahkan. Alasannya, mereka tidak kuat berpuasa karena harus bekerja keras mendapatkan penghasilan menghadapi Lebaran. "Mereka terpaksa bekerja lebih giat untuk biaya pulang kampung atau Lebaran," katanya.
Menariknya, seperti diungkapkan Wardah, fenomena ini tidak hanya terjadi di Palembang saja.
"Ini juga terjadi di daerah-daerah lain. Cakupannya nasional," katanya.
Karena tuntutan jam kerja yang bertambah, mereka merasa kondisinya tidak mampu untuk menjalani ibadah puasa. Oleh karena itu, Wardah berharap Pemerintah Daerah bisa membantu meringankan beban mereka. Yakni, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan formal, dengan membuat peraturan soal gaji ekstra dari majikan pada pembantu atau sopir," katanya.
Jika hal ini bisa diwjudkan, maka buruh pun tak perlu lagi menambah jam kerjanya untuk mendapat uang lebih. Sebab, sudah ada jaminan dari pemerintah soal bonus hari raya.
Akan halnya nasib mereka yang bekerja di sektor informal, seperti pedagang kaki lima atau asongan, Wardah mengatakan pemerintah selayaknya selama bulan puasa juga bisa "berpuasa' mengejar-ngejar mereka. "Puasa juga menguatkan kepedulian. Jadi hentikanlah penggusuran. Biarkanlah mereka berdagang dengan tenang," ujarnya.
Dengan penelitian ini, kata Anton Bae dari Essai, bisa disimpulkan bahwa puasa bukan sesuatu yang dianggap suatu berkah buat orang miskin. "Orang miskin memandang puasa seperti suatu beban ekonomi, terutama mengenai kebutuhan menghadapi Lebaran," katanya.
Jika dicermati lebih dalam lagi, puasa sebenarnya bermakna untuk mencegah dari sikap pemborosan dengan belajar langsung bagaimana beratnya derita yang dihadapi orang-orang yang kelaparan.
Namun, makna puasa yang kemudian lebih diartikan pada muaranya saja yakni pada saat hari raya, justru membuat puasa itu menjadi beban bagi semua orang. Tak hanya orang miskin saja yang terbebani, tapi juga akan dialami kalangan menengah maupun atas. Sebab, Hari Raya sering dimaknai dengan memberi upeti kepada pihak lain, terutama yang ada hubungan bisnis dengannya.
Padahal, sebenarnya kewajiban umat Muslim yang berpuasa hanya membayar zakat fitra kepada fakir-miskin paling lambat sebelum selesai pelaksanaan sholat Idul Fitri. Tak ada perintah untuk beli baju baru, masak kue, memberikan bingkisan atau angpao, maupun mudik ke kampung halaman.
Tapi mengapa dari begitu dalamnya makna puasa tersebut, lalu dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya menjebak diri umat sendiri menuju ke arah kesulitan hidup?

Tidak ada komentar: