Jumat, 26 Oktober 2007

Baliho Retak



DUET yang tak kompak biasanya menjadikan lagu menjadi terasa fals. Seorang penyanyi membawakan tembang dengan nada seenaknya sendiri, sedangkan penyanyi yang lain juga melakukan hal yang sama, sehingga lagunya menjadi terasa sumbang.
Di dalam pemerintahan pun, pemimpin yang saling berseberangan akan membuat jalannya roda pemerintahan menjadi tidak sinkron. Setidaknya, karena tak satu suara dalam membuat keputusan, seringkali masyarakat menjadi kebingungan dibuatnya.
Belakangan ini, misalnya, duet antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Wakil Presiden Yusuf Kalla memang tampak kurang mesra. Kendati terkadang mereka masih tampak bersama, namun ada kesan keduanya asyik dengan urusan masing-masing. Terlebih menyambut pemilihan presiden pada 2009 mendatang, kedua petinggi negara ini tampak saling tebar pesona untuk menggaet hati masyarakat.
Keinginan untuk maju kembali dalam pemilihan memang hak setiap orang. Artinya, sangat manusiawi jika Yusuf Kalla, yang selama ini duduk di kursi wakil presiden, untuk priode berikutnya ingin naik tingkat menjadi presiden. Begitu pula sebaliknya, SBY yang masih menjabat sebagai presiden, ingin mempertahankan jabatannya itu pada periode berikutnya.
Yang tak lazim, agaknya, adalah duet kepemimpinan di Provinsi Riau. Sudah menjadi rahasia umum jika Gubernur Rusli Zainal kini kelihatan tak sebiduk seperjalanan dengan wakilnya, Wan Abubakar. Bahkan, dalam baliho-baliho besar yang dipasang di pelbagai kawasan strategis, yang terlihat hanya gambar gubernur semata. Atau terkadang ada gambar gubernur dengan wali kota, dengan Ketua Paskibraka Riau, gubernur dengan istrinya, maupun dengan Presiden SBY.
Gambar Rusli bersama Wan Abubakar, kalau pun ada, hanya pada saat mereka berpasangan ketika masih menjadi calon gubernur. Keduanya, dalam pemilihan gubernur dan wakil tempo hari memang satu paket. Wan yang waktu itu menjadi ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan jumlah kursi yang cukup signifikan di DPRD Riau, rasanya pantas dijadikan patner dalam pemilihan gubernur yang saat itu masih dipilih oleh DPRD.
Namun, bak habis manis sepah dibuang, tak lama setelah berhasil menumbangkan Saleh Djasit yang berpasangan dengan Chaidir, keharmonisan antara Rusli dengan Wan mulai terganggu. Sebagian orang menduga ketidakharmonisan ini terjadi karena Wan yang orang Muhammadiyah lebih mementingkan azas manfaat ketimbang melakukan hura-hura dalam menjalankan roda pemerintahan. Sementara Rusli yang lebih muda dari segi usia dan pengalaman politik, masih cukup toleran mengakomodir keinginan pelbagai kalangan masyarakat, sehingga sering berkesan seperti masih suka hura-hura dalam kebijakannya.
Konflik di antara mereka kian melebar setelah Wan Abubakar terlihat berambisi untuk maju menjadi gubernur dalam pemilihan 2009 mendatang. Boleh jadi, justru majunya Wan ini yang menyebabkan Rusli merasa tersinggung karena seperti mendapat pesaing tambahan. Padahal, sebenarnya perahu PPP yang selama ini ditambang Wan Abubakar, sudah tak begitu diharapkan Rusli lagi. Maklum Rusli telah terpilih jadi Ketua Golkar Riau, yang partainya jauh lebih banyak memiliki kursi di DPRD Riau.
Justru, begitu terpilih menjadi ketua Golkar, kelihatan Rusli mulai mengambil jarak dari Wan Abubakar. Tak jelas apa hitung-hitungan politiknya. Namun, yang pasti, sejak itu kedudukan Wan sebagai orang nomor dua di Riau, menjadi seperti dikebiri.
Seorang anggota dewan dari partai netral pernah bercerita, pengurus masjid terutama di daerah banyak yang kecewa dengan Wan Abubakar, karena janji-janjinya untuk memberikan bantuan, ternyata tak pernah terwujudkan. Padahal Wan menganggap bantuan yang diberikannya sebagai Wakil Gubernur itu bisa diambil dari pos anggaran bantuan dari Pemprov Riau.
Ternyata, begitu sumbangan akan diwujudkan, Wan tak berdaya mengeluarkan dana bantuan dari Kas Pemerintah Provinsi Riau. Tanpa sepengetahuannya, semua pos bantuan hanya bisa keluar satu pintu dari atas nama gubernur saja.
Nah, boleh jadi hal inilah yang menimbulkan keretakan di antara mereka, sehingga keduanya seperti tak tahu lagi dengan urusan masing-masing. Wakil gubernur, misalnya, tak tahu sama sekali gubernur bertugas ke luar kota selama tiga minggu. Padahal, sebagai wakil gubernur, seharusnya dia yang memegang jabatan ketika gubernur berhalangan. Tapi, selama tiga minggu ini, Pemprov Riau jadi seperti provinsi tak bertuan.

1 komentar:

A. Rohman mengatakan...

klo menurutku Al-Qiyadah islamiyah tu gak kreatif, kalo memang bikin konsep keagamaan baru ya jangan Niru /Mbajak miliknya orang. dalam islam tu ud jelas ALLah tuhannya dan Muhammad Rosulnya jangan diganti-2. kalo masih tetep pengen ganti ya jangan pake istila Islam. tu nyatanya Gak Cerdas!

oh ya Jangan merusak Pemahaman Orang yang sudah Mapan, kalo anda dituduh SESAT ya pantas. lawong gk kreatif, ber-Islam tapi anda Menyelewengkan. Lawong Mbajak Lagu saja dilarang apalagi Membajak AGAMA…? tul gak ..?