Jumat, 26 Oktober 2007

Lampu Colok

PUASA Ramadhan sudah memasuki hari ke-27. Saat menjelang puncak bulan puasa seperti ini biasanya disambut masyarakat dengan meriah. Kemeriahan tak hanya dalam pelbagai bentuk ibadah di kawasan mesjid saja, tapi juga diikuti dengan kemeriahan lainnya di luar tempat ibadah.
Yang paling mencolok terlihat adalah pemasangan lampu colok, terutama pada malam ke-27 puasa. Masyarakat tampak dengan meriah memasang lampu-lampu hias tersebut dalam pelbagai bentuk yang menarik. Bahkan tradisi ini sudah cukup lama dikenal di Kabupaten Bengkalis, dengan nama malam tujuh likur.
Di Pekanbaru sendiri perayaan lampu colok dilaksanakan hampir di seluruh kecamatan. Anggota masyarakat, dengan biaya sendiri atau dikumpulkan secara patungan, dengan gembira membuat lampu-lampu ini dari botol kecil minuman penyegar M-150 yang diberi sumbu kain. Lampu yang sudah jadi lalu disusun dalam kerangka kayu yang sebelumnya telah dibentuk mirip masjid atau bentuk lainnya lagi. Sebagai bahan bakar adalah minyak tanah, kendati harganya kini kian melambung dan susah pula mendapatkannya.
Namun, bagi masyarakat yang merayakannya, kesulitan seperti ini tidaklah sampai menjadi kendala berarti. Meskipun minyak tanah sulit didapat, dan kalau pun ada harganya terbilang tinggi, nampaknya tekad untuk tetap memeriahkannya tak juga surut.
Bahkan, sejak beberapa tahun ini lampu colok sudah menjadi agenda tetap pemerintah daerah/kota dan provinsi, sehingga perayaannya tampak kian meriah. Dalam acara pembukaan Festival lampu colok 2005 lalu, misalnya, Gubernur Rusli Zainal yang membuka acara tersebut meminta agar tradisi ini dapat diteruskan dan dipelihara. 'Tradisi ini mengandung nilai-nilai dan ajaran Islam terutama di bulan Ramadan ini. Dengan tradisi ini kita memperingati tentang arti dan makna malam-malam akhir Ramadan yang lebih utama,'' ujar Rusli.
Menurut Gubernur, malam 27 Ramadan yang dalam bahasa lain kerap disebut malam tujuh likur ini juga mengingatkan tentang pentingnya beribadah lebih banyak di akhir Ramadhan, terutama pada 10 malam terakhir. ''Mudah-mudahan kita malah mendapatkan malam lailatul qadar,'' ujarnya.
Kendati hanya berupa rangkaian lampu dari botol minuman penyegar yang kemudian disusun menjadi bentuk masjid, lampu colok ini sebenarnya memiliki makna yang dalam. Rangkaian lampu tersebut membentuk masjid yang cukup indah dipandang pada malam hari, sehingga dapat saja dijadikan sebagai daya penarik bagi wisawatan untuk berkunjung ke sini.
Makna yang lebih penting lagi adalah sebagai gambaran bahwa lampu-lampu yang nyaris tak berarti apa-apa itu, ternyata jika dirangkaikan menjadi pemandangan yang cukup indah. Ini menunjukkan bahwa pertalian antara anggota masyarakat mampu menghasilkan sebuah karya besar.
Pola silaturrahmi dan kerjasama yang erat seperti inilah sebenarnya yang sekarang dibutuhkan, di saat setiap orang kini lebih banyak disibukkan dengan urusan masing-masing. Semangat bertetangga atau berteman kini nyaris ditinggalkan orang, sehingga kerjasama yang solid sudah sangat jarang bisa ditemukan.
Belajar dari lampu colok yang tampak indah dan menawan karena adanya saling keterkaitan antar lampu colok, sudah sewajarnya kita jadikan pelajaran untuk bahu-membahu dalam menggalang sebuah kerjasama.
Sebuah lampu colok dengan bentuk yang indah bisa diwujudkan jika ada warga yang menyumbangkan botol, kayu, sumbu, maupun minyak tanah. Lalu ada yang merangkainya, mendirikan, dan memasang serta menunggui apinya jangan sampai mati. Dari situ tercermin adanya semangat gotong royong yang tinggi, yang kini semakin kita rindukan.
Budayawan Tenas Effendi sendiri pernah mengatakan makna yang dapat diambil dari fenomena ini adalah wisdom atau kebajikan. Di mana dengan terang yang ditimbulkan oleh ribuan lampu colok diharapkan mampu untuk menerangi suasana hati. "Terang kampung, kita harapkan juga terang juga hati ini," kata Tenas.

Tidak ada komentar: